19. KERJA SAMA

9 2 0
                                    

Hari ini, aku mendapati banyak siswa yang menatapku. Ada yang menatap dengan tajam, sinis, tatapan tak suka, penasaran, dan masih banyak lagi. Jujur, itu cukup membuatku risi. Namun, aku beruntung karena memiliki Naven yang cukup peka dengan keadaanku. Ia langsung menggenggam tanganku dan menarikku agar aku terus berjalan. Saat aku mencoba memandangnya, ia tampak menunjukkan ekspresi cuek kepada orang di sekitar. Mungkin aku juga harus begitu.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, tak ada hal lain yang kulakukan selain berusaha fokus. Meskipun aku tak tahu ada apa, tapi entah kenapa aku merasa semua ini berhubungan denganku. Sorot mata mereka terlalu menggambarkan semuanya.

Sesampainya di kelas pun tak ada yang menyapa kami. Bahkan, suasana kelas yang tadinya ramai, tiba-tiba berubah senyap saat kami muncul di ambang pintu kelas. Ada apa sebenarnya?

Belum usai kebingunganku, aku melihat mejaku dan Naven ditempati siswa lain. Kami pun mendekat dan bertanya, “Maaf, ini meja kita. Kok kalian yang duduk di sini?”

Riri—perempuan yang sedang duduk—tersenyum remeh padaku. “Gue enggak mau basa-basi. Intinya, sekarang gue duduk di sini dan lo duduk di pojok belakang sana,” ujarnya sambil menunjuk satu meja paling pojok.

“Lho, tapi kan—”

“Enggak ada tapi. Masih untung gue enggak minta kepala sekolah pindahin lo ke kelas lain. Malah harusnya, pembunuh kayak lo udah enggak sekolah di sini lagi.”

Pembunuh?

“Tap—”

Aku tak berhasil menyelesaikan ucapanku karena Naven sudah lebih dulu menarikku. Membawaku menuju meja yang Ratna tunjuk sebagai mejaku yang baru.

Uh, menyebalkan. Kalau bukan karena Naven, mungkin sudah kumarahi dia. Mentang-mentang anak orang berada, dia seenaknya padaku. Menuduhku sebagai pembunuh pula. Jika aku memang pembunuh, maka orang pertama yang kubunuh adalah Ratna.

Kelas kembali senyap. Namun, itu tak berlangsung lama. Karena tiba-tiba saja segerombolan siswa masuk ke kelas kami. Tampak di tengah-tengah rombongan, ada Liam yang berjalan dengan tatapan angkuhnya.

“Gue perlu ngobrol sama Alya!” ucapnya keras. Membuat semua mata menatapku sengit, tak terkecuali Naven. Aku sendiri juga bingung. Kenapa dia mencariku?

Aku berniat untuk menjawab perkataan Liam. Namun, ternyata gerakanku kalah cepat dibanding Naven. Dia sudah lebih dulu berdiri dan menyilangkan sebelah tangannya di depan tubuhku. Pertanda bahwa aku harus diam.

“Kalau lo mau ngobrol sama Alya, gue harus ikut,” ujar Naven tak kalah tegas.

Tampak Liam mendengus sambil menatap tajam. “Emang lo siapa? Pahlawan kesiangan? Bodyguard?”

Telapak tangan Naven seketika mengepal. Pertanda ia mencoba meredam amarahnya yang tengah bergejolak hebat.

“Bukan urusan lo. Tapi pokoknya—”

Aku menghentikan ucapan Naven dengan menyentuh tangannya. Membuatnya menoleh padaku untuk beberapa saat. Aku pun mengangguk kecil. Pertanda bahwa apa yang Liam minta bukanlah masalah bagiku. Walaupun aku sebenarnya juga takut. Apalagi jika melihat postur tubuhnya yang cukup besar, membuatku cukup terintimidasi.

Aku pun bangkit berdiri. “Enggak masalah. Asal kita cuma bicara berdua. Gimana?” tanyaku sambil tersenyum tipis.

Liam terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya ia mengangguk. Aku pun menepuk pelan bahu Naven sebelum akhirnya beranjak dari mejaku. Seolah sedang mengirim sinyal bahwa aku pasti akan baik-baik saja.

“Mau ngobrol di mana?” tanyaku saat sudah berada persis di hadapan Liam.

“Ikut gue.”

*****

“Astaga, Alya. Harus berapa ratus kali gue tanya? Apa yang lo inget?”

Kini Liam bukan hanya mengusap rambutnya. Bahkan mungkin sekarang rambutnya mulai rontok karena ia jambak keras-keras. Bahkan mungkin sebentar lagi ia bisa saja membuat kepalanya beradu dengan tembok gudang yang ada di belakang tubuhnya. Namun, aku seolah tak mempunyai jawaban lain selain sebuah gelengan.

Terdengar Liam mendengus keras. Napasnya juga terdengar memburu. Belum lagi, jari telunjuknya menunjukku terang-terangan. “Jangan main-main sama gue, Al. Gue serius. Kalau emang bukan lo pelakunya, berarti cuma lo satu-satunya saksi kunci dalam kasus ini. Cuma lo yang tau, siapa pelakunya,” katanya dengan nada bicara yang terdengar begitu frustrasi.

Seketika aku menangkup wajah dengan kedua tanganku. Belum sampai sepuluh menit berada satu ruangan dan bicara dengan Liam, berhasil membuatku ikut frustrasi.

“Kasus apa sih sebenernya?” tanyaku putus asa sambil menatap Liam. Entah sudah berapa kali ia menyebut kata 'kasus' dalam percakapan kami.

Tampak Liam menganga lebar. “Yang di rooftop?” tanyanya sambil menunjuk ke atas sebagai isyarat ia menunjuk rooftop.

Keningku langsung berkerut. “Emang ada kasus apa?”

Liam seketika mengerang dengan sedikit tertahan. Ia juga menciptakan gerakan seperti hendak mencekik yang ia arahkan padaku.

“Bukannya lo ada di sana waktu gue hampir mati?”

Aku tertegun. Yang benar saja.

“Semua orang yang nemuin kita, bilang kalau lo ada di rooftop pas gue lagi gelantungan buat bertahan biar enggak jatuh dari sana. Dan cuma ada lo.”

Aku memijit kening, bingung. “Aku enggak pernah liat kamu di rooftop. Ya ... lebih tepatnya, aku enggak ngerasa terlibat di situasi itu.”

“Maksud lo apa? Lo mau bilang kalau gue lompat sendiri dan nuduh lo, gitu?” tanya Liam yang kini tampak mulai berang. Dadanya tampak naik turun, menandakan emosi yang tidak stabil.

“Bu-bukan gitu. Maksud gue, gue enggak inget ada kejadian kayak gitu. Apalagi gue terlibat,” ucapku sesantai mungkin.

“Jangan bohong!”

“Ngapain aku bohong sama kamu?” ucapku yang tak lagi bisa santai. Enak saja, dituduh berbohong.

“Tapi—”

“Aku ada sekali mimpi lagi di sini. Tapi aku lupa detailnya. Lagi pula, itu cuma mimpi. Bukan beneran,” potongku cepat.

Beberapa waktu lalu, aku memang sempat bermimpi berada di rooftop dan kondisinya ramai. Namun, aku tak ingat persis ada apa. Toh hanya mimpi.

Mulut Liam tampak menganga makin lebar sambil menatapku dengan tatapan tak percaya. “Serius lo enggak inget kejadian waktu itu? Yang di gudang juga?”

Keningku makin berkerut jelas. “Gudang? Ada apa lagi?”

Segera Liam meraup wajahnya dengan kasar. Ia berjalan mondar-mandir di depanku dengan tampang gusar sambil sesekali melirikku.

“Lo beneran enggak inget? Enggak lagi mau nipu gue, 'kan?” tanyanya sambil menatapku dengan gelisah. Kuku ibu jari tangan kanannya pun tak luput ia gigiti.

“Enggak ada untungnya bohongin kamu.”

“Tapi ... gimana bisa? Lo amnesia?”

Aku mengedikkan bahu, tak tahu. “Kamu kali yang ngada-ada. Mungkin kamu yang sebenernya bohong sama aku. Bikin-bikin cerita kayak gini, entah untuk apa,” tuduhku balik dengan santai.

Wajah Liam seketika mengeras. “Jangan sembarangan ngomong lo. Buat apa gue bikin cerita enggak mutu kayak gitu? Nyawa gue beneran di ujung tanduk, hari itu. Dan satu-satunya orang yang dicurigai dan bisa dijadiin saksi itu cuma lo.”

“Kenapa harus aku? Aku enggak ngapa-ngapain!”

“Kalau gitu, kita harus kerja sama.”

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang