15. BERTEMU

5 2 0
                                    

Seluruh pintu kelas dipenuhi dengan kepala siswa yang melongok keluar, ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar kelas. Mata mereka memandangku lekat. Seolah mengulitiku dengan tatapan penuh pertanyaan. Sementara tubuhku dipapah menuju UKS oleh Naven. Entah kenapa, sampai sekarang tanganku gemetar hingga berkeringat dingin.

“Duduklah,” ucap Naven sambil mengarahkanku duduk di ranjang perawatan UKS.

Aku pun mengikuti arahan Naven dan duduk di ranjang. Sementara itu kepalaku hanya bisa tertunduk menatap kedua tanganku yang belum berhenti gemetar.

“Ponsel kamu biar aku yang simpen. Enggak apa-apa, 'kan?” tanya Naven sambil berjongkok di depanku, berusaha menatapku. Aku hanya mengangguk. Lidahku seolah kelu, hingga tak bisa menjawab pertanyaan Naven.

“Permisi. Saya lihat dia gemetar. Boleh saya periksa dulu?” tanya seorang perempuan yang terdengar dari sisi kanan tubuhku. Namun, aku hanya terdiam hingga terdengar Naven bersuara.

“Silakan, Kak. Saya enggak mau sahabat saya kenapa-kenapa,” ucap Naven yang seketika membuatku meneteskan air mata. Entah kenapa.

Butuh waktu beberapa menit sampai petugas jaga UKS itu selesai memeriksaku dan menyatakan bahwa aku baik-baik saja. Menurutnya, aku hanya mengalami syok yang cukup berat. Ia pun menyarankanku untuk beristirahat di UKS sampai kondisiku lebih stabil. Dan tentu saja Naven langsung mengiyakan perintah itu tanpa meminta persetujuanku. Padahal aku sendiri tak cukup nyaman berada di UKS. Seolah aku ini pesakitan.

Setelah petugas jaga itu meninggalkan kami, Naven duduk di depanku. Ia merapikan rambutku yang sedikit berantakan, kemudian menatapku lekat. Ia menangkup kedua pipiku dengan tangannya dan membuatku menatapnya.

“Al, kenapa kamu di rooftop? Siapa yang kunciin kamu?” tanyanya langsung. Namun, aku hanya terdiam. Bukan karena aku tak mau menjawab pertanyaannya. Namun, aku tak tahu sama sekali apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku.

Aku hanya ingat sedang berada di rooftop. Lalu sekelebat, ada ingatan tentang seseorang berbaju hitam, dan yang kuingat terakhir adalah telepon dari Naven yang memberi tahu bahwa aku terkunci di rooftop.

Terdengar helaan napas dari Naven. Membuatku kembali fokus dan menatapnya penuh tanya.

“Aku kan udah bilang sama kamu. Jangan pergi sendirian. Kenapa kamu bohong? Pake bilang mau ke toilet, padahal mau ke rooftop. Untung aku langsung nyari kamu pas sadar kamu udah pergi lama banget,” tutur Naven panjang lebar yang membuatku langsung mengerucutkan bibir, tak suka.

“Aku cuma mau menikmati pemandangan di sana. Kalau sama kamu kan nanti enggak boleh ini, enggak boleh itu. Aku enggak mau. Aku pengen bebas sebentar. Ak—”

Ucapanku seketika terhenti saat Naven kembali menangkup wajahku dengan lebih keras, kemudian bicara dengan nada rendah. Hampir seperti berbisik.

“Kamu enggak inget? Udah berapa kali kamu dapat ancaman gara-gara tragedi Liam? Bunda nitipin kamu ke aku, buat aku jagain. Bukan buat aku biarin berkeliaran di tempat berbahaya,” ujarnya yang seketika membuat keningku berkerut.

“Liam? Emang ada hubungannya sama Liam?” tanyaku penasaran.

“Ya ... ya ... mungkin aja, 'kan? Udah. Mending sekarang kamu minum tehnya, abis itu istirahat.”

Aku pun hanya mengangguk. Tak mau memperpanjang pertanyaan, walaupun dalam benak, ada begitu banyak pertanyaan yang sedang menuntut jawaban.


*****


Kelasku yang tadinya senyap, seketika berubah menegangkan saat sebuah suara terdengar menggelegar di dalam kelas. “Mana yang namanya Alya? Buruan ngaku! Mana?”

Aku yang merasa memiliki nama itu menoleh. Mendapati sosok Liam berdiri di ambang pintu kelas dan diikuti beberapa orang lelaki di belakangnya. Sepertinya, mereka teman Liam.

“Heh! Kalian itu bisu, tuli, apa dua-duanya? Mana yang namanya Alya?” tanyanya lagi dengan nada bicara yang lebih tinggi. Bahkan aku bisa melihat urat-urat di lehernya, meskipun dari kejauhan.

Aku baru saja hendak mengangkat tangan saat tiba-tiba Naven berdiri dan beranjak dari kursinya, mendekat ke arah Liam. Seketika jantungku berdegup kencang. Apa yang akan dia lakukan?

“Ada urusan apa lo nyariin Alya?” tanya Naven dengan nada bicara yang terdengar begitu tenang.

Tampak mata Liam menyipit, menatap tak suka saat Naven berada tepat di depannya. “Urusan gue sama Alya. Bukan sama lo.”

“Urusan Alya, urusan gue juga. Coba bilang dulu urusan lo apa. Kalau bukan sesuatu yang berbahaya, gue izinin,” ucap Naven berani. Sementara aku, diam di kursiku. Bukannya aku tak mau membantu sahabatku. Namun, aku tak tahu harus melakukan apa.

Terdengar decihan dari Liam. “Oh, jadi lo itu bodyguard-nya Alya, gitu? Terus kalo gue mau ketemu Alya, gue harus dapet izin dari lo dulu? Sok banget lo.”

Seketika Liam meraih kerah seragam Naven, menarik dan mengangkatnya dengan emosi. Matanya tampak memelotot, menyeramkan.

“Denger, ya. Gue enggak peduli lo siapanya Alya. Mau bodyguard kek, cuma temen deket kek, gue enggak peduli. Sekarang, mana Alya,” ucapnya tegas. Meskipun pelan, tapi keadaan kelas yang senyap membuatku dapat mendengar ucapan Liam dengan jelas.

“Gue enggak bakal kasih tau.”

“Lo—”

Liam tak sempat menyelesaikan ucapannya karena bogemnya telah melayang lebih dulu, menghantam pipi kiri Naven hingga membuat Naven sedikit terlontar saat Liam melepas cengkeraman pada kerah seragamnya.

Seketika semua terpekik. Tak terkecuali aku. Tampak kini Naven berusaha bangun dan mulai memasang kuda-kuda. Aku tahu, dia berniat untuk melawan. Sebelum itu terjadi, aku harus mencegahnya.

Aku pun beranjak dari kursi. Namun, belum sempat aku berjalan, Naven sudah membalas bogem mentah Liam. Membuat lelaki itu menghantam tubuh kedua temannya yang berdiri di belakangnya.

Melihat itu, aku makin mempercepat langkah. Sementara, Liam kembali menerjang tubuh Naven. Membuat tubuh Naven terjatuh dan Liam berada di atasnya. Bersiap menyerang bertubi-tubi.

Namun, segera aku berusaha menghentikan semua itu.

“Berhenti!” teriakku keras. Membuat semua orang seketika menatapku, terutama Naven dan Liam.

Saat semuanya sudah benar-benar terdiam, aku kembali bersuara. “Lepasin Naven. Urusanmu sama aku. Bukan sama dia,” ucapku dengan nada setegas mungkin. Walaupun sebenarnya tubuhku gemetar tak karuan.

Bagaimana tidak? Aku mengucapkan kalimat seperti itu di hadapan seorang lelaki berbadan cukup kekar. Kekuatannya cukup untuk membuat tubuh rapuhku hancur lebur.

Tampak Liam tersenyum sinis, lalu bangun dari tubuh Naven. “Oh, jadi lo yang namanya Alya?” tanyanya. Entah penglihatanku yang salah atau memang ada pancaran amarah dalam tatapannya.

Aku mengangguk. “Ada urusan apa kamu cari aku?”

“Al—”

Aku langsung membungkam Naven dengan mengarahkan telapak tanganku ke arahnya. Memberi isyarat padanya untuk berhenti bicara.

“Kali ini, biarin aku nyelesein urusanku sendiri,” ujarku sambil menatap Naven tajam.

“Tap—”

“Jadi, ada urusan apa?” potongku, mengulang pertanyaanku pada Liam tanpa menghiraukan Naven yang berusaha mencegahku bicara dengan Liam.

Senyum sinis lagi-lagi terbit di wajah Liam. “Lumayan juga. Tapi gue bingung. Kita enggak pernah kenal sebelumnya. Tapi kenapa lo seambisius itu buat bunuh gue?”

Seketika aku merasa oksigen di ruang kelasku menipis. Bahkan hampir tak tersisa.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang