1. NAVEN

30 5 0
                                    

Aku mengernyitkan kening saat menemukan sebuah buku usang di dalam lemari kecil yang dibuat menyatu dengan meja belajarku. Sudah begitu banyak debu yang menutupinya. Bahkan ada sarang laba-laba di beberapa sudutnya. Warna sampulnya yang kecokelatan, tampak main pudar karena tertutup debu.

Penasaran, aku pun mengambil buku itu. Lalu terduduk di samping kaki meja dengan punggung menyandar sisi tempat tidur. Kubersihkan buku itu dengan selembar tisu basah yang ada di meja hingga sekiranya nyaman untuk kupegang dalam waktu lama.

Setelahnya, aku pun mulai membuka buku tersebut. Di halaman pertama, tertulis sebuah nama-sepertinya. Tulisanku yang berantakan bahkan jauh lebih baik dari ini. Tulisannya memang besar-besar. Namun, aku harus mengernyit untuk bisa membacanya.

Alya Saraswaty.

Bukankah itu namaku? Lalu, buku apa ini?

Aku kembali membuka lembar kedua buku itu. Namun, tak ada tanggal atau tahun yang tertulis di sana. Hanya sebuah kata yang ditulis dengan huruf besar dan hampir memenuhi permukaan halaman buku.

"Na-ven?"

Terbata aku mengucapkan kata itu sambil menelengkan kepala.

Bukankah dia sahabatku sejak kecil? Lalu, kenapa aku menulis namanya?

Rasa penasaran kembali menggiringku untuk membuka lembar berikutnya. Tulisannya sepertinya makin sulit untuk kubaca. Masih sangat berantakan. Namun, lagi-lagi aku menemukan gaya tulisan yang sama dengan halaman sebelumnya. Hanya saja, kali ini ukurannya jauh lebih kecil.

Naven.

Dalam beberapa halaman pertama, hanya itu yang bisa kubaca. Lebih tepatnya, mungkin yang bisa terbaca oleh mataku.

Menjelang pertengahan buku, mulai lebih rapi. Aku mulai bisa membacanya walau tak bisa sepenuhnya. Dan jika dilihat dari isinya, itu seperti buku diari sekaligus catatan perjalanan. Mungkin. Karena di sana tertulis:

Hari ini Naven ajak aku ke taman lagi. Aku lupa ini taman sebelah mana. Tapi Naven bilang, ini taman tempat kami main bareng. Banyak pohon besar di sini. Tapi kata Naven, aku enggak boleh berteduh di sana. Kecuali aku mau dijatuhi kotoran burung.

Ada pula catatan rute perjalanan dari rumah ke sekolah, taman, dan lain sebagainya.

Ah, apa mungkin ini buku catatan harianku dulu?

Hari ini pun aku memiliki sebuah buku catatan yang kubawa ke mana pun. Di setiap tasku, ada satu buku yang dikhususkan untuk mencatat berbagai hal di sekelilingku seriap kali aku keluar rumah. Apalagi kalau aku sedang keluar sendiri.

Aku pun bangun dari dudukku dan meletakkan buku itu saat pintu kamarku diketuk. Segera kubuka pintu itu hingga tampak di depanku, berdiri seorang wanita paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu tersenyum padaku.

"Bunda?" sapaku setengah bertanya. Mewakili pertanyaanku mengenai kehadirannya di sini.

"Kamu lagi ngapain?" tanya bunda sambil sedikit melongok ke dalam kamarku.

Aku hanya menjawab pertanyaan bunda dengan sebuah gelengan. Seharusnya bunda paham maksud gelenganku.

Bunda menepuk puncak kepalaku pelan dan mengusapnya beberapa kali. "Ada Naven di depan. Temenin gih," ucap bunda yang membuatku seketika menelengkan kepala sejenak.

Naven. Ya. Nama itu.

Aku mengangguk dan berjalan keluar kamar. Setelah menutup rapat pintu kamar, aku menuju ruang tamu. Saat sudah cukup dekat, menangkap sosok seorang lelaki yang sedang duduk santai di sofa. Ia menatapku dan tersenyum. Ya. Dia Naven. Aku ingat mata cokelat gelapnya.

"Hei, Al. Jalan yuk," ajaknya langsung saat aku berdiri sekitar dua meter dari tempatnya duduk. Ia pun langsung bangkit dari duduknya, seolah menyambutku.

"Hmm ... gimana ya?" Aku berucap ragu. Entahlah. Hari ini aku seperti tak ingin ke mana-mana.

Tampak senyum Naven kembali terkembang. "Aku udah minta izin sama bunda kok. Bunda bolehin," balasnya walau bukan itu yang sedang kupikirkan.

Belum juga aku menjawab, tiba-tiba bunda kembali muncul di antara kami dengan membawa senyum yang sangat lebar. "Udah, kamu ikut aja sama Naven. Daripada kamu gabut di rumah, enggak ngapa-ngapain. Kamu pasti betah kalau pergi sama Naven. Kayak biasanya."

Meskipun bunda berkata seperti itu, aku tetap bergeming. Entah kenapa saat itu kakiku seolah terpancang kuat di lantai. Hingga bunda mendorong tubuhku ke arah kamar yang akhirnya kuikuti begitu saja.

"Sana. Ganti baju sama ambil tas kamu," ucap bunda sambil menepuk bahuku beberapa kali sebelum akhirnya aku benar-benar masuk ke kamar.

Di kamar, aku pun mengikuti apa yang bunda perintahkan padaku. Namun, saat segala persiapanku selesai, pandangan mataku kembali terpancang pada buku catatan yang tergeletak di atas meja belajar.

Aku pun berjalan mendekat. Sesampainya di depan meja, aku duduk dan memegang buku itu. Aku membuka beberapa lembar buku secara acak. Entahlah. Aku merasa kalau aku sudah membaca beberapa bagian dari buku itu. Dan aku tiba pada sebuah bagian yang cukup menarik perhatianku.

Sekarang aku dan Naven ada di taman. Harusnya kami sudah sampai di rumah. Tapi Naven bilang, dia mau ikutan main bola sebentar sama teman-temannya. Jadi, ya sudahlah. Aku ikut saja.

Aku diminta nunggu di gazebo taman. Dia juga bilang kalau aku enggak boleh ke mana-mana kalau enggak ada dia. Tapi aku kebelet pipis. Udah kebelet banget. Gimana dong?

Aku tertawa kecil saat membacanya. Apa aku benar-benar mau menahan kencing demi menuruti perintah Naven itu? Sungguh. Aku tak bisa mengingatnya. Namun, sepertinya akan sangat lucu jika itu benar-benar terjadi.

"Alya."

Seketika aku tersadar dari lamunan saat suara bunda kembali terdengar dari balik pintu.

"Kamu lagi ngapain di dalem, Nak? Are you okay?" tanya bunda lagi yang membuatku bergegas mengambil sepasang sneakers dari rak sepatu, kemudian setengah berlari menuju pintu.

"Iya, Bunda," jawabku sambil membuka pintu kamar dan tersenyum lebar.

Bunda balas tersenyum. "Dandannya lama amat."

Mendengar itu, aku pun hanya bisa tersipu malu. Memang segitu lamanya aku di kamar?

"Ya udah. Langsung ke depan aja. Kasian Naven. Udah nungguin dari tadi."

Aku mengangguk dan menuju ruang tamu di mana Naven sudah berdiri tegap sambil menggenggam kunci sepeda motor. Lagi-lagi, ia tersenyum lebar saat melihatku.

"Udah siap?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Bunda, Naven izin ajak Alya keluar sebentar, ya," pamit Naven sambil mencium tangan bunda.

Bunda tersenyum dan mengangguk jelas. "Titip Alya, ya. Tolong jagain dia," ucap bunda yang membuatku seketika bersungut.

Memangnya aku masih kecil? Aku sudah SMA.

"Bunda ih," protesku. Namun, mereka malah tertawa. Menyebalkan.

Tanganku ditarik Naven keluar rumah. Menuju motor, kemudian memberikan sebuah helm padaku.

"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil menerima helm darinya.

Naven tersenyum. "Ke taman. Tempat kita main dulu. Kita udah lama enggak ke sana. Enggak apa-apa, 'kan?"

Aku mengangguk.

"Tapi ...."

"Kenapa?"

"Ini." Aku menunjuk strap helm yang belum terpasang. "Tolongin," lanjutku.

Naven seketika terbahak sebelum akhirnya membantuku. Laki-laki menyebalkan.

Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang