22. SURAT MISTERIUS

4 2 0
                                    

"Lo?"



Kakiku terasa kaku. Seperti terpaku di tempat untuk beberapa saat. Mungkin, aku memang tak begitu mengenal siapa lelaki yang baru saja bersuara itu. Namun, entah kenapa aku merasa yakin jika ia sedang bicara padaku. Dia mengenalku?



Lelaki itu melangkah mendekat. Membuatku sedikit gentar. Namun, kakiku menolak untuk bergerak. Aku hanya diam di tempat sambil mengeratkan genggaman pada pegangan pintu rooftop.



"Lo ngapain di sini?" tanyanya dengan nada penuh selidik. Apa dia sedang mencurigaiku atas sesuatu?



Ludahku kini lebih sulit ditelan dari yang seharusnya. Tatapan tajamnya membuat nyaliku seolah dicabut dan terbang begitu saja ke langit ketujuh. "Ah, aku ... aku ada perlu," balasku sebisanya. Lebih tepatnya, hanya kalimat itu yang terpikir olehku.



Tanpa sengaja, mataku menatap surat di tangannya. Membuatku secara refleks mengeluarkan kertas serupa dari dalam saku seragamku dan memperhatikannya lamat-lamat. Tampak bola mata lelaki itu seolah hendak keluar dari rongganya saat aku mengeluarkan kertas itu. Dan entah bagaimana caranya, ia sudah ada di depanku. Berdiri dengan sorot mata penuh tanda tanya.



"Jadi, lo yang ngirim surat ini?" tanya lelaki itu padaku sambil menunjukkan selembar kertas yang persis dengan yang aku miliki.



Keningku seketika berkerut. "Surat? Aku enggak nulis surat apa pun. Lagian, aku enggak kenal sama kamu," ungkapku jujur. Membuatnya langsung menarik tanganku dan menghadapkan surat di tanganku.



"Terus ini apa?"



"Itu ... aku juga enggak tahu. Tiba-tiba surat ini ada di mejaku. Jadi, kupikir aku bakalan ketemu sama pengirimnya kalau aku ke sini," balasku tanpa ragu karena memang itu yang kupikirkan. Namun, kemudian kami sama-sama terdiam. Seolah sedang mencari sekeping puzzle yang hilang.



Aku kembali menatap surat di tanganku dan menatap lelaki tegap di depanku. "Kalau bukan kamu orangnya, terus siapa?"



Namun, bukan jawaban yang aku dapatkan. Ia hanya mengedikkan bahu dan berjalan menjauh dariku. Berdiri setengah bersandar di tepian rooftop dengan tangan sebagai penyangganya. "Kalau gue tahu, gue enggak mungkin nuduh lo," Ujarnya singkat yang membuatku sedikit sebal. Jawaban macam apa itu?



Merasa tak mungkin terus berdiri di depan pintu, aku pun memilih untuk berjalan mendekati lelaki itu. Meskipun ada sedikit perasaan tak nyaman yang menyusup, tetapi aku mencoba memberanikan diri. Entah kenapa, aku justru tak memiliki niatan untuk kembali ke kelas.



Aku mengikuti gerakannya. Menyandarkan tubuh di pembatas rooftop dengan tangan sebagai penyangga dan menatap langit yang mulai menghitam. Angin dingin sebagai pertanda akan turunnya hujan mulai terasa membelai wajah dan rambutku.



"Ini surat ke sekian yang aku dapet," ucapku begitu saja. Entah keberanian dan ide dari mana, aku mengucapkan kalimat tak berguna yang langsung kurutuki itu. Siapa juga yang mau mendengar ceritaku?



"Sama."



Seketika aku menoleh. Apa aku tidak salah dengar?



"Sama? Maksudnya ... kamu ...."



Lelaki itu menoleh padaku. "Kalau lo inget kejadian gue muntah darah di prom night, beberapa hari setelahnya, gue dapet surat kayak gini. Beruntung. Gue enggak tahu siapa yang ngirim karena suratnya selalu ada di meja sebelum ada orang yang masuk ke kelas. Gue enggak pernah punya petunjuk apa pun. Dan satu-satunya orang yang selalu ada tiap kali gue ketiban soal, itu lo. Makanya gue pikir, lo yang ngirim gue surat."



Mendengar jawabannya, aku sontak tertawa terbahak-bahak. "Dasar aneh. Terus, karena aku ada di semua kesialanmu, aku otomatis jadi tersangka? Wah! Ada di undang-undang yang mana? Aku baru tahu, " balasku bercanda. Meskipun ada sedikit rasa kesal karena dituduh tanpa alasan jelas, tetapi aku juga tak bisa memasukkan ucapannya ke hati. Karena lagi-lagi, secara kebetulan, aku sama dengannya.



Penerima surat misterius.



"Ya namanya juga dugaan. Tapi menurut lo, siapa yang mengirimi kita surat?" Ia kembali bertanya. Dan kini, ia menatapku.



Dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, sudah pasti aku hanya bisa mengedikkan bahu. Aku menatap ke arah lain sejenak, sebelum kembali menatap lelaki berbadan tegap di sampingku. Kutarik napas panjang sebelum mulai berujar. "Asal kamu tahu. Di sekolah ini, yang aku kenal baik Cuma Naven. Aku pun enggak pernah punya hubungan yang kurang baik sama temen-temen yang lain. Jelas, Naven enggak mungkin jadi pelakunya. Dia ngabisin waktunya, all day long di sekitarku. Bisa dihitung jari kapan aku sendirian tanpa Naven di tempat umum."



"Tunggu bentar."



Aku menatap lelaki itu dengan intens. Ada apa sampai dia menjeda ceritaku? Dan lagi, sekarang ia menatapku penuh selidik.



"Kalau lo inget, kita udah pernah ngobrol beberapa kali."



"Oh ya?" Jujur saja. Aku tak mengingatnya. Jangankan ingat pernah bicara dengannya. Ingat pernah bertemu dengannya saja, rasanya buram. Aku tak berhasil menemukan ingatan itu sama sekali.



Lelaki itu mengangguk. "Dan tiap kali kita ngobrol, lo selalu bilang kalo lo enggak inget apa pun. Bahkan kadang lo enggak inget sama gue. Nama pun lo enggak tahu."



Lagi, aku menatap langit yang semakin kelam, tertutup awan. "Ya emang kenyataannya gitu. Bahkan kalau sekarang kamu bilang kita ketemu tiap hari dan ngapain aja pun, belum tentu aku inget," ungkapku.



"Are you serious?"



Entah untuk keberapa kalinya hari ini, aku tertawa. "Apa aku kelihatan lagi bercanda?"



Lelaki itu terdiam sejenak. "Terus, kenapa lo bisa bilang kalo Naven selalu sama lo? All day long."



Aku menatapnya. Mencoba tersenyum, walau aku pun tak tahu seperti apa senyumku kali ini. Karena untuk pertama kalinya aku merasa gamang dengan kalimat yang akan aku ucapkan. "Naven sama mama yang selalu bilang. Setiap hari. Bahkan ada di buku catatanku. Tiap Naven mau pergi pun, dia selalu bilang, I'll be back asal soon as possible."



Bahuku sedikit terguncang akibat kekehanku. Kutundukkan kepalaku, hingga aku dapat melihat pergerakan beberapa pemain basket di lapangan tanpa tahu siapa mereka. "Lucu ya? Aku bisa inget hal itu, tapi hal lain buyar gitu aja."



Lalu, kami terdiam. Aku sibuk dengan pikiranku, dan lelaki di sebelahku ... aku tak tahu kenapa ia diam. Namun, aku juga tak mau tahu lebih jauh. Bukan urusanku. Toh, tujuanku ke sini hanya untuk bertemu si pengirim surat itu.



Kuhela napas pendek, setelah sekian lama berdiri diam tanpa hasil apa pun. Kuputuskan untuk kembali ke kelas dan menemui Naven agar kami bisa pulang bersama. Semua ini terasa melelahkan. Kutolakkan badanku dengan kedua tangan mencengkeram tepian rooftop.



"Kayaknya enggak bakal ada siapa-siapa lagi yang dateng. Kalau gitu, aku mau tu-"



Kalimatku seketika terhenti saat menoleh ke arah lelaki itu. Mataku menangkap sesosok bayangan hitam yang bergerak cepat dari sebuah ruangan di ujung rooftop. Dalam hitungan detik, lelaki di sampingku ambruk setelah tengkuknya dipukul dengan cukup keras menggunakan tongkat bisbol.



Pada saat yang sama, aku benar-benar terpaku di tempat. Tenggorokanku tercekat. Suaraku teredam begitu saja. Kakiku terpancang kuat di lantai. Hingga saat aku berhasil membuka mulut, bukan teriakan yang kulepaskan. Namun, sesuatu ikut menyusup masuk ke tubuhku hingga seketika semua tampak sama.



Hitam.


Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang