14. ANCAMAN

4 2 0
                                    

Aku bisa merasakan aura yang berbeda. Namun, aku tak tahu apa. Yang kurasakan dengan nyata, hanyalah tatapan mereka yang terasa begitu mengintimidasi dari segala sisi. Setiap langkahku seperti diperhatikan. Seolah ada sesuatu yang membuat mata mereka selalu tertuju padaku.



Aku dan Naven akhirnya sampai di kelas. Namun, lagi-lagi atmosfernya terasa berbeda. Saat kami muncul di ambang pintu, kelas yang tadinya ramai, perlahan senyap. Apa memang selalu seperti ini jika aku dan Naven datang ke kelas? Apa mereka memang selalu memperhatikan gerak-gerik kami?



Mencoba untuk tak acuh, kami pun menuju meja kami yang kini tampak seperti sebuah area terlarang untuk didekati. Tak ada satu pun orang yang mau mendekat ke meja kami, pagi ini. Kecuali Rifa. Hanya dia yang kulihat tidak begitu peduli dengan keberadaanku dan Naven.



Aku pun duduk di kursiku dan meletakkan tas, serta menyimpan buku-buku pelajaranku di laci. Namun, belum selesai dengan kegiatanku, tiba-tiba Naven menyikut lenganku pelan. Membuatku menoleh padanya dan mengerutkan kening, bertanya dalam bahasa tubuh.



"Bawa kertasnya?" tanya Naven berbisik.



Kerutan di keningku makin menjadi. "Kertas?"



Naven mengangguk cepat. "Semalem kan kamu telepon aku sambil nangis-nangis. Katanya ada yang lempar batu sama kertas ke rumah kamu. Aku bilang, bawa kertasnya pas sekolah. Kamu lupa?"



Aku masih belum mengendurkan kernyitanku. "Aku nangis malem-malem? Ada yang ngelempar batu?"



Seketika Naven terdengar menghela napas. "Seriusan lupa?"



Aku hanya bisa tersenyum kuda. Aku tak mengingat persis apa yang terjadi semalam. Jadi, aku juga tak begitu mengingat tentang kertas yang Naven bicarakan.



Namun, seolah tak sabar, Naven langsung meraih tasku. Ia membuka dan mencari-cari sesuatu di dalam tasku yang hampir kosong itu. Hingga setelah ia sepertinya sudah menemukan apa yang dicari, ia segera menarikku keluar kelas. Ia mengajakku ke taman belakang yang cukup sepi.



Ia mendudukkanku di salah satu bangku taman buatan dan menatapku dalam. Kemudian, ia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya dan membentangkannya di depanku. Membuatku bisa membaca tulisannya dengan jelas.



Sudah kubilang. Jangan ikut campur. Cukup lihat dan ikuti alurnya. Tapi kamu malah mencari masalah denganku. Mulai hari ini, kamu tak akan aku lepaskan.



Itulah isi kertas itu. Kurasa, sebuah ancaman. Namun, itu benar-benar untukku? Apa aku punya musuh di luar sana tanpa aku ketahui?



"Kamu enggak inget sama sekali soal ini?" tanya Naven lagi sambil menunjuk-nunjuk kertas itu.



Aku terdiam, kemudian menggeleng pelan. Sebenarnya, aku bukannya benar-benar tidak ingat. Namun, ingatan itu sangat samar bagiku. Aku bahkan tak tahu ingatan itu nyata atau hanya khayalanku saja. Bisa saja kertas itu tak sengaja kutemukan di jalan dan malah dengan isengnya kubawa pulang, 'kan? Itu sangat mungkin terjadi.



Naven duduk di seberangku. "Alya, aku enggak lagi bercanda," ucapnya. Kini nada bicaranya terdengar begitu serius.



Ia meletakkan kertas itu di meja yang berada di antara kami. Lalu ia kembali menunjuk-nunjuk kertas itu dengan begitu tegas. "Ini bukan hal main-main. Bisa jadi ini karena omongan ceroboh kamu yang bilang kalo kamu liat pelaku penyekapan Liam," ucapnya tegas.



"Aku?" Kutunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk. Rasa heran melingkupiku.



"Masa kamu juga lupa?" Naven langsung memijit pelipisnya sambil tertunduk. "Pokoknya mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati. Kalau perlu, jangan pergi-pergi kalau bukan sama aku, bunda, atau ayah kamu. Oke?"



"Tapi, kalau aku ada tugas kelompok, gimana?"



"Kalau aku enggak sibuk, aku temenin. Pokoknya aku bakal pastiin kamu aman dulu, baru aku tinggal. Tapi abis itu aku tetep jemput kamu. Oke?"



Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Memang apa yang harus kulakukan agar Naven mau membatalkan semua keinginannya untuk menjagaku? Toh itu baik untukku.




****




Setelah beradu argumen dan berdebat panjang dengan Naven, akhirnya aku berhasil menginjakkan kaki di rooftop sekolah. Aku berniat main sebentar di rumah kaca untuk sekadar melepas penat. Namun, sepertinya aku hanya mujur dalam hal melepaskan diri dari pengawasan Naven. Karena ternyata, sesampainya aku di rumah kaca, bangunan mungil itu dalam kondisi terkunci. Aku tak tahu siapa pemegang kuncinya dan tak sedang berhasrat untuk mencari tahu.



Namun, aku sudah kadung sampai di sini. Malas rasanya untuk langsung kembali ke kelas. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menetap sejenak di sini. Menikmati pemandangan sekitar sekaligus membiarkan embusan angin membelai tubuhku. Sesuatu yang tak aku dapatkan di lantai bawah.



Aku menatap sekitar. Sepi. Hanya terdengar sayup suara berdecit dari arah bawah, di mana sebuah lapangan bola basket berada. Sebelum aku ke sini, tampak beberapa siswa sedang bermain bola basket. Pasti suara decitan itu dari mereka.



Namun, sepertinya aku sedang tidak dibiarkan menikmati sedikit pun kesunyian dan kesendirian. Karena tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang berdehem di belakangku. Membuatku seketika berbalik dan mendapati seseorang dengan badan tertutup jaket hitam polos. Kepalanya pun ia tutup dengan tudung jaketnya. Bahkan wajahnya ia tutup masker hitam. Membuatku hanya bisa melihat matanya.



"Halo, tukang ikut campur," sapanya yang membuatku langsung menoleh ke kanan dan kiri. Barangkali ada orang lain yang ia maksud. Namun, tak ada satu pun manusia yang kutemukan selain kami berdua di sana.



"Aku?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.



Ia mengangguk. "Siapa lagi memangnya? Di sini hanya ada kita berdua."



Mendengar nada bicaranya yang dingin, aku sukses kesulitan menelan ludah. "Aku ikut campur masalah apa?" tanyaku heran. Aku tak mengenalnya. Untuk apa aku ikut campur dalam urusannya?



"Jangan berlagak polos. Gara-gara kamu, targetku dua kali lolos. Tapi tenang. Aku enggak akan kapok. Tapi kamu juga harus ingat satu hal. Kalau sampai kamu ikut campur lagi, aku bisa pastikan kamu jadi target keduaku. Atau malah, aku akan menghabisimu lebih dulu," ancamnya sambil berlalu meninggalkanku yang terdiam.



Entah kenapa, aku tak kuasa membalas ucapannya. Padahal di kepalaku sudah terancang beragam pertanyaan untuk diajukan padanya. Hingga akhirnya ia menghilang di balik pintu, seketika tubuhku luruh, terduduk di lantai.



Entahlah. Rasanya tubuhku begitu lemas. Aku baru menyadari intimidasinya sekarang.



Aku kembali menoleh menatap pintu rooftop. Berbagai pertanyaan kembali bermunculan di kepalaku.



Siapa dia?



Bagaimana caranya dia tahu aku di sini?



Dan lagi, apa maksud ucapannya barusan?



Aku ... diancam?



Namun, di tengah pikiranku yang berkecamuk, teleponku tiba-tiba berdering nyaring. Aku segera mengeluarkan ponsel dari saku rokku.



Naven.



Segera aku menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.



"Halo, Naven. Ada apa?" tanyaku. Namun, yang terdengar justru suara panik dari Naven.



"Alya, buka pintunya. Kenapa pintu rooftop kamu kunci?"



Seketika aku terdiam sambil menatap pintu rooftop.


Maze of Memory ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang