Perjalanan ditempuh masih cukup jauh. Anak-anakku tertidur dalam mobil. Sedangkan aku dan Rena memandangi jalanan menuju Tasik.
Sesekali aku cek ponsel, melihat notifikasi apa saja yang membuat lampu led ponselku menyala terus. Hanya notifikasi dari aplikasi biru berlambang f.
Karena tak ada aktivitas, aku pun memperhatikan Tio yang sedang sibuk dengan kemudi. Dia sudah banyak berubah sekarang. Dulu hati kami pernah dekat. Dia adalah orang pertama yang perhatian dan membuatku selalu bercerita apapun yang kulewati hari itu.
"Aa, kenapa gak kerja di perusahaan orang?" tanyaku kepada Tio yang sedang fokus menyetir.
Dia memandangiku dari spion tengah, lantas tersenyum, "kamu pasti tahu alasannya!"
"Karena gak suka ditunjuk?" jawabku masih memandangnya dari spion, sedangkan Tio sudah fokus ke depan.
Dia melirik dan tersenyum tipis, "iya betul ...." dengan suara beratnya yang terdengar kalem.
Jadi ingat dulu, waktu aku masih SMA dan dia sudah kuliah.
Tio masuk organisasi kemahasiswaan. Dia gagal menjadi ketua, akhirnya dia menjadi wakil ketua. Hanya beda skor 1 poin saja dengan temannya yang menjabat menjadi ketua pada saat itu.
Lalu si ketua itu kerjaannya banyak merintah Tio. Awalnya Tio tidak keberatan, tapi semakin kesini si ketua ini semakin berlaku seenaknya. Semua tugas diembankan kepada Tio. Akhirnya, Tio mundur dan memilih untuk tidak mengikuti organisasi apapun.
Fix, berarti itu memang sifat dia yang selalu ingin jadi bos dan gak pernah senang ditunjuk-tunjuk.
Aku mengangguk perlahan. Tak kusadari senyuman terbit di bibirku, mengingat bagaimana Tio dulu bercerita dengan emosinya yang meletup-letup. Aku hanya bisa bilang, "sabar, A!".
"A ... ponselku tinggal sedikit lagi baterainya, boleh ikut charge, gak?" tanyaku kepada Tio. Aku cari charger-an ponselku di dalam tas. Tapi, gak ketemu-ketemu. Mungkin aku lupa bawa, karena fokusku tadi hanya perlengkapan anak-anakku saja.
"Boleh ... charger-nya bawa gak?"
"Gak ada, A. Perasaan tadi udah aku masukin tapi gak ketemu," jawabku yang masih tertunduk membongkar isi tas.
"Ini ada charger," Tio membuka kotak di samping joknya.
Aku ambil charger-nya. Lalu aku mtaku menangkap ada sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk setengah hati.
Ah, ini milik Tio. Betul, itu bagian punya Tio. Sedangkan bagianku sudah kubuang saat aku mulai mundur perlahan. Dia masih menyimpannya?
Aku tertegun beberapa saat, ingatan itu berpendar dalam memoriku. Saat Tio memberiku dua kalung perak dengan liontin hati yang terbelah. Satu untukku dan satu untuknya.
Aku selalu memakainya dengan senang hati, sedangkan Tio hanya menjadikannya gantungan kunci. Dia gak suka menyematkan kalung di lehernya.
"Ini, A?" Aku mengambil kalung itu dan kuperlihatkan kepada Tio.
"Iya ...," dia tersenyum dan mengangguk tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
"Itu apaan, Tan?" tanya Rena yang sepertinya sudah memperhatikan sejak tadi.
"I-ini kalungnya ... lucu, ya, Ren? Aku gak nyangka aja A Tio suka pakai ini," ucapku berbohong.
"Gak dipakai kok, tapi selalu aku bawa. Kenang-kenangan dengan mantan terindah," katanya enteng dan lancar.
"Kok masih disimpan kalo dari mantan, A?" Rena bertanya, semoga dia gak sadar kalo mantannya itu adalah aku.
"Karena sampai sekarang aku belum bisa move on dari dia," senyuman itu kulihat diberikannya kepada Rena.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Mantan
Любовные романыBagaimana kalau kamu dipertemukan dengan mantan kamu 10 tahun yang lalu? Apakah yang akan kamu lakukan? Adakah cara untuk menghindarinya? Cek, yuk! Drama ringan rumah tangga. jangan lupa follow dulu!