Terasa Hambar

64 6 1
                                        

"Kamu mau jadi pacarku?"

Aku membisu seribu bahasa saat Tio menanyakan kalimat itu.

Ah masa lalu ... kapan engkau pergi?

Bahkan setelah sekian lama hilang, kau malah kembali dan mengajakku merenda kenangan yang tercecer itu hingga hampir menyatu sempurna.

Aku tak ingin semua ini terus menjelajah setiap sisi otakku untuk membuka satu persatu laci yang telah lama terkunci. Laci dengan isi puing-puing kenangan masa lalu.

Namun, semakin aku coba menjauhkan, puing kenangan itu semakin nyata melayang bersama angan.

***

"Ma ... ma ...," suara imut Rayyan –anakku-- yang sedang berjalan dibimbing Tio menghampiriku. Sejak kapan aku melamun dan memutar kembali ingatan masa lalu?

"Sudah mainnya? Kita pulang, ya?" tanyaku kepada Rayyan dan Shanum dengan menyejajarkan posisiku dengan mereka berdua.

Mereka mengangguk.

Saat hendak kugendong, Rayyan malah berbalik dan memeluk kaki Tio, ingin digendongnya. Aku terhenyak dengan sikap anakku itu. Selama ini dia tidak pernah mau digendong orang lain selain Mama dan Papanya.

Baiklah, kali ini aku biarkan Rayyan bersama Tio. Shanum biar aku yang pegang. Kami pun berjalan bersama. Tio di depanku dengan Rayyan digendongannya, aku mengikuti di belakangnya.

Hingga akhirnya kami pun sampai di parkiran. Shanum meminta untuk duduk lagi di depan, aku sendiri di seat dua. Sedangkan Rayyan, duduk bersama Tio yang akan mengendarai mobil. Sudah kubujuk Rayyan untuk duduk bersamaku di belakang, tapi dia tidak mau, malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Gak apa-apa, sekali-sekali." Tio menjawab dengan senyumannya yang selalu memesona. Aku yang sedang tak ingin tersenyum pun selalu berhasil ia buat mengulas senyuman.

Sepanjang jalan Rayyan berceloteh. Hingga sekitar sepuluh menit perjalanan, suasana dalam mobil menjadi hening. Aku melongok sedikit ke arah depan, ternyata Rayyan tidur di pangkuan Tio.

Lengan kanan Tio memegangi setir dan lengan kirinya memegangi tubuh Rayyan agar tidak terjatuh.

"A, berhenti dulu aja! Rayyan biar aku yang gendong. Aku gak enak jadi ngerepotin gini."

"Gak apa-apa. Tanggung. Udah santai aja, aku bisa kok nyetir sambil pegang anak."

Seharian ini aku pergi bersama Tio, aku hampir melupakan ponselku. Yang biasanya aku sering cek ponsel sekadar untuk melihat takut ada pesan masuk, kini sudah berkurang. Benar, aku butuh seseorang untuk membunuh kesepianku.

Pemandangan saat ini yang terlihat di mataku sangat kusukai. Seorang pria sedang mengendarai mobil dan seorang anak laki-laki duduk di pangkuannya. Mungkin jika ini berlangsung siang hari dan Pak Polisi melihatnya, tentu akan kena tilang. Aku tak mau hal itu terjadi.

Bukan hanya itu saja sebenarnya, tapi membahayakan juga. Tio adalah pria yang hati-hati, tentu aku percaya padanya. A Raihan sering menolak saat Rayyan ingin duduk bersamanya di kursi kemudi, alasannya tentu seperti yang sudah kujelaskan di atas.

Lima menit setelah melewati Alun-alun Kecamatan, aku pun sampai di depan gang rumah mama. Setelah menarik tuas rem tangan, Tio menggendong Rayyan keluar dari mobil.

"Aa, sini biar aku aja yang gendong. Tinggal jalan sedikit lagi. Tapi maaf, ya, aku gak bisa ngajak Aa masuk dulu. Gak enak sama Mama, Bapak, nanti mereka malah mikir macem-macem, lagi." Rayyan kini sudah berada digendonganku.

"Gak apa-apa, Aa ngerti. Makasih ya dah bantuin nyari Gina."

"Sama-sama. Gina temanku, jadi aku juga harus ikut nyari dia. Aku pulang, ya? Assalamu'alaikum."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terjerat MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang