Pulang dari rumah nenek aku merasa berat jika harus dua kali naik angkutan umum menuju rumah mama. Tak ingin berlama, aku ambil ponsel dan ku masuk aplikasi taksi online.
Aku mulai ketikkan alamat rumah Mama di bagian alamat yang dituju. Lalu aku tekan enter. Keluar tarif yaitu Rp. 16.000 untuk jarak tempuh 1,5 km. Aku klik "order" karena tak ingin menghabiskan waktu lebih lama untuk menunggu.
Aku pulang membawa dua anakku yang masih balita. Tentu rasanya ingin sampai rumah dan beristirahat.
Ponsel pun berbunyi tanda orderan taksi online-ku sudah dicocokkan dengan akun driver.
Aku sedikit terhenyak ketika melihat akun si Driver yang akan mengantarku pulang. Namanya Tio Prasetyo, mirip nama mantanku waktu kelas tiga SMA. Aku kemudian melirik bagian foto profil, aku masih belum yakin jika itu benar mantanku. Karena foto profil ini berbentuk bulat kecil dan aku tak bisa memperbesar untuk melihatnya. Aku coba untuk mengabaikannya.
Selang lima menit, sebuah mobil berhenti di depanku. Mobil LCGC berwarna milky white. Driver-nya membuka kaca jendela dan memastikan jika aku adalah orang yang memesan jasanya.
"Mbak Tania, betul?"
Suaranya agak familier namun masih belum yakin karena suaranya terdengar lebih berat dari prediksiku. Suaranya sedikit terhalang oleh masker yang dikenakannya.
"Betul," jawabku singkat.
Setelah si Driver mempersilahkan masuk, aku pun membuka pintu seat kedua. Aku masuk bersama dua anakku.
Dalam perjalanan aku menangkap dari spion tengah kalau si Driver curi-curi pandang. Mulai gak nyaman rasanya. Aku alihkan pandangan keluar, berharap mataku dan si Driver gak ketemu lagi di spion.
Tiba-tiba dia buka maskernya. Dia sapa aku.
"Tan, apa kabar?"
Aku lirik otomatis pas namaku dipanggil. Aku lihat spion, ternyata dia emang mantanku seperti dugaanku dari awal. Mantanku, Tio Prasetyo.
Aku berusaha setenang mungkin, tidak mau menunjukkan jika jantungku berubah haluan. Aku heran sendiri, ketemu mantan kok malah jadi deg-degan. Padahal gak punya perasaan apa-apa lagi.
"Aku baik. Kamu sendiri?"
Aku benar-benar mengkondisikan wajahku agar senyumanku ini tidak semringah dan harus selaras dengan mataku untuk tidak berbinar. Ah, susahnya. Mata jendela hati, makanya suka bisa ketebak isi hati tuh cuma lihat mata.
"Baik juga ...."
Hening.
Perjalanan sudah setengah jalan. Entah memang aku merasa lama atau mantanku ini yang membuat kecepatan laju mobil lebih lambat.
"Kamu sekarang tinggal dimana?" tanyanya kemudian.
"Aku sekarang ikut suami," jawabku tak mau memberi tahu lebih detail.
"Mereka anak kamu?"
"Iya."
"Mirip Bapaknya, ya?"
Aku mengangguk, tak ingin lebih banyak lagi membuka aksara.
"Sekarang dianterin ke rumah Mama kamu, 'kan? Mama sama Bapak sehat?"
Ah iya, baru 'ngeh kalau Tio ini dulunya deket banget sama keluargaku. Sifatnya memang supel, banyak orang yang nyaman jika berbicara dengannya. Yang baru kenal pun bisa jadi bicara banyak kalo berbicara dengannya.
Tiba-tiba rasa ingin tahuku muncul. Apalagi ketika terlintas saat dia sering message ke sosial mediaku. Sepuluh tahun aku berpisah dengannya, namun dia masih sering stalking ke akun-akun sosial mediaku jika privasinya aku kendurkan.
"Kamu nikah sama orang mana?" tanyaku, pandanganku mengarah ke luar jendela.
"Aku belum nikah ... aku belum bisa move on dari kamu ...," jawabnya bergetar.
Aku terhenyak, jantungku serasa berhenti mendengar kalimat yang ia lontarkan. Rasa iba kemudian naik ke permukaan hatiku. Namun terhempas seketika.
"Eh kok, ini malah gak berhenti?" tanyaku lagi saat melihat gang menuju rumah mama terlewatkan begitu saja.
"Sudah aku akhiri perjalanannya. Sekarang aku mau ajak Dedek manis beli es krim, mau ya?" ucapnya menoleh sekejap kepada dua anakku.
"Mau, Om," jawab Shanum, anakku yang pertama.
Aku tak bisa berkata lebih banyak lagi, inginku segera sampai rumah mama, rasanya aku ingin segera istirahat.
Lalu mobil pun terhenti di sebuah Minimarket. Tio meminta kami menunggu dan ia keluar dari mobilnya.
Sejurus kemudian ia kembali dengan sebuah keresek besar di kedua tangannya.
"Nih buat Dedek ya berdua ...!" serunya sambil menyerahkan dua kresek besar itu kepada anakku yang pertama.
"Makasih, Om."
Mobil melaju lagi. Namun, sekarang mengarah lagi ke arah rumah Mama.
Tak ada lagi aksara yang keluar dari mulut kami masing-masing. Kami mengeja sepi. Aksara dalam relung hatiku terus beruntaian. Entah perasaan senang atau apa yang sekarang bersarang dalam sanubari.
Kalaupun perasaan senang ini tak boleh kubiarkan terus berkembang. Senang karena seseorang bukan mahram terlebih lagi mantan, sangat tidak layak. Bukankah jika suami mengetahuinya hanya akan membuat duri? Duri yang suatu saat akan mengoyakkan layar terkembang perahu kami?
"Sudah sampai ...."
Alhamdulillah, lirihku.
"Makasih, A. Aku pulang. Assalamu'alaikum," ucapku setelah bocah kecil kupangku keluar dari mobil.
Tak terdengar balasan salamku, ia hanya mengembangkan senyuman dengan matanya membulat penuh fokus ke arahku.
Aku segera masuk ke dalam gang. Aku keluarkan ponselku dan kulihat pantulan bayangan di ponsel, ternyata mobil itu masih di sana. Mungkin Tio sedang mengamati langkah kami hingga masuk ke dalam rumah.
Untungnya setiap kali aku bertransaksi dalam aplikasi ojek online aku selalu menggunakan uang digital. Awalnya hanya karena gak mau ribet nyari uang pas, karena pernah waktu itu si Driver sampai harus keliling dulu nyari warung cuma buat nukerin uang jadi recehan.
Sejak saat itulah aku gunakan uang digital. Gak tega membuat driver ojol kesusahan lagi.
Aku pun berpikir jika aku membayar Tio dengan uang tunai, aku yakin Tio akan menolaknya. Lalu aku akan merasa berhutang padanya. Tapi, hal itu tidak terjadi, untung saja.
Melihat penampilan Tio sekarang aku merasa kalau dia sudah banyak berubah. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk merubah kepribadiannya.
Dulu ia terlihat sangat gaul, pakaiannya sangat anak muda sekali pada zamannya. Sekarang ia terlihat lebih dewasa dengan pakaiannya. Wajahnya pun sudah ditumbuhi kumis dan janggut yang tipis-tipis. Satu yang menurutku tidak berubah, kulitnya masih putih bersih.
Aku berjalan menuntun kedua anakku. Sesekali aku mengingat bagaimana Tio dulu saat bersamaku. Aku berusaha menepis pikiran yang ingin bersemayam di benakku. Hatiku kini tidak karuan, mood-ku terasa berantakan.
Jika saja tadi waktu Tio bertanya namaku ia tak mengenakan masker dan topi, mungkin aku akan langsung mengenalinya, dan jelas tombol cancel akan segera kutekan. Memang itu bukan etika yang baik. Memutus rezeki orang karena alasan masa lalu adalah bukan hal yang harus dibenarkan.
Aku semakin menyesali pertemuan itu karena rasa dulu yang sudah ku buang jauh, seolah membayang-bayangi kembali. Membuatku sesekali berbunga. Ya, hatiku berbunga ketemu mantan. Rasa gugup pun tak mau ketinggalan untuk hadir.
Lain kali, aku tak ingin bertemu dengan Tio lagi. Mantanku yang masih kepo dengan kehidupanku ini.
Segeralah move on, Tio!
💙💙💙
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Mantan
RomanceBagaimana kalau kamu dipertemukan dengan mantan kamu 10 tahun yang lalu? Apakah yang akan kamu lakukan? Adakah cara untuk menghindarinya? Cek, yuk! Drama ringan rumah tangga. jangan lupa follow dulu!