Aku sering merasa kesepian akhir-akhir ini. A Raihan sangat menjiwai hobinya. Kala waktu senggang, ia habiskan untuk bersepeda dengan komunitas barunya. Hilanglah sudah kini kebiasaan lama pergi tamasya bersama anak-anak.
Waktuku sering kuhabiskan dengan berselancar di dunia maya. Semua pekerjaan rumah rutin aku kerjakan. Jika ada waktu senggang, aku sempatkan membuka ponsel, sekadar untuk mencari hiburan. Entah, dengan begitu kekosongan rasa itu cukup teralihkan.
Bahkan kini saat suamiku itu sudah tak lagi intens perhatiannya, waktu ia meminta jatah ranjang, aku selalu melayaninya dengan malas. Aku merasa kehilangan kasih sayang. Kini, aku hanya berkewajiban menunaikan kewajiban saja tanpa menjiwainya sama sekali.
Aku ingin kebutuhan nafkah batin itu bukan melulu tentang jatah ranjang. Bagiku nafkah bathin melebihi itu. Perhatian, waktu luang yang dihabiskan bersama itu juga merupakan kebutuhan nafkah batin seorang istri.
Terkadang semua orang memandang kebutuhan nafkah batin itu hanya tentang hubungan suami-istri. Mungkin, A Raihan pun memiliki pikiran seperti itu.
"A, pekan ini gak usah gowes, ya! Temenin aku ke Tasik. Aku mau cari Gina di rumah Neneknya," pintaku pada A Raihan yang baru saja sampai di rumah. Kulihat mukanya sangat lelah.
"Gak bisa, Yang. Aa capek banget akhir-akhir ini. Nanti dulu, ya?" jawabnya setelah aku mencium lengannya.
Aku hanya mengangguk. Tak ingin kuteruskan lagi kalimatku. Bagiku itu adalah jawaban panjang dari kata "tidak bisa".
Kusodorkan segelas air putih untuk melepas dahaganya. Lalu aku ikuti langkahnya. A Raihan masuk kamar dan membaringkan diri di peraduan.
Aku paham A Raihan sangat lelah. Hampir saja tertidur sebelum kubangunkan untuk mandi. Air hangat sudah mendidih. Kami tidak memasang water heater di rumah. Setiap kali ingin mandi air hangat, kami akan memasak airnya terlebih dahulu.
Selesai mandi A Raihan terlihat lebih segar. Muka kusut yang ia bawa saat pulang kini sudah hilang. Aku ajak A Raihan untuk makan. Anak-anak sudah tertidur sejak ba'da isya tadi.
"Aa, aku pengen ketemu Gina. Aku penasaran banget, kenapa dia menghilang gitu aja," aku membuka suara sambil menemani A Raihan makan.
"Tanyain ke teman-teman lain. Barangkali ada yang tahu Gina kemana!" jawabnya sebelum menyuapkan sesendok nasi beserta soto ayam.
"Sudah aku kirim pesan di grup alumni SMP. Tapi gak ada yang tahu."
"Kamu pergi aja sama Tio, mantanmu, sekaligus pacarnya Gina. Dia juga lagi nyari, kan, sama?" cetus A Raihan.
Aku hanya bisa mengerutkan dahi. Kusisir wajahnya berharap menemukan ekspresi tak serius atau sedang menggodaku.
Tak kutemukan sama sekali kerlingan jika A Raihan sedang mengujiku.
Aku tak menanggapi kalimatnya. Kubiarkan ia makan dengan tenang. Isi kepalaku terus bekerja untuk mencerna aksara A Raihan. Enteng dia berbicara seperti itu. Ah mungkin, dia kesal karena aku terus saja bicara.
💙💙💙
Seperti biasa, mau selelah apapun A Raihan akan pergi bersepeda di akhir pekan dengan teman-temannya. Aku terkadang bingung dengan sikapnya.
Semalam dia mengatakan bahwa sedang capek karena mengurusi usaha. Tapi hari Minggu dia selalu menyempatkan untuk menjalankan hobinya dan rasa capek tak pernah mempengaruhinya untuk urung menjalankan hobi.
Kadang aku cemburu dengan teman-teman komunitasnya. Bagaimana tidak, mereka sudah mengambil waktu luang suamiku kini. Aku kira dia tidak akan secinta itu dengan hobi barunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Mantan
RomanceBagaimana kalau kamu dipertemukan dengan mantan kamu 10 tahun yang lalu? Apakah yang akan kamu lakukan? Adakah cara untuk menghindarinya? Cek, yuk! Drama ringan rumah tangga. jangan lupa follow dulu!