Hampir Menghilang

16 1 0
                                    

Aku yang tengah memilih baju anak laki-laki merasa dongkol. Hatiku tiba-tiba bergemuruh, menyuruhku untuk pura-pura ke toilet juga menyusul Gina. Tapi, mulut dan tubuhku kaku, justru terdiam dengan situasi yang sangat membuatku tak enak hati.

"Itu cocok, Tan!" suara beratnya membuat senandika dalam hatiku berhenti seketika.

Aku memegang baju kemeja ukuran S berwarna navy. Semula aku sedang membayangkan anakku --Rayyan-- jika memakai baju yang kupegang ini. Tapi sejak Gina izin untuk ke toilet, hatiku bersenandika.

"Anakmu pasti akan semakin lucu jika kamu pakaikan itu!" Tio lagi membuka suara meskipun aku bungkam seribu bahasa.

Tak kupedulikan ucapannya. Aku simpan kemeja anak berukuran S itu, kemudian aku sibakkan satu persatu hanger yang digantungi oleh kemeja anak-anak berbagai warna itu.

"Aku setuju yang navy tadi, laki banget!" suaranya semakin mendekat, aroma parfum yang sangat kukenali seolah semakin lekat, persis seperti di belakangku tepat.

Aku memutar badanku, dan kulihat Tio berdiri dengan jarak satu meter di belakangku.

"Aa jangan mendekat lagi! Bukan mahrom." Ketus aku berbicara tanpa kutolehkan pandanganku padanya sejengkal pun. Aku berpura-pura fokus memilih baju.

Kuputuskan aku membeli baju berwarna biru turkis saja, meskipun sebenarnya pilihanku jatuh pada kemeja berwarna navy tadi. Namun, aku tak ingin setiap kali anakku memakai kemeja itu, aku selalu ingat Tio.

"Yang navy beli juga, ya? Biar aku yang bayar." Tio terus mengikuti langkahku meskipun ada jarak.

"Tan, udah belanjanya?" suara halus itu menyelamatkanku.

"Udah, ini mau bayar." Aku melenggang menuju kasir meninggalkan Gina dan Tio.

Mereka kemudian menungguku di pintu keluar. Saat aku menghampiri, tanpa aksara kami seolah sudah setuju untuk berjalan menuju tempat parkir mobil Tio.

Kali ini ia pakai mobil Honda HR-V, mobil yang berbeda dengan dua mobil yang sebelumnya ia gunakan taksi online. Hampir aku terperdaya dengan kesuksesannya. Untungnya ingatan masa lalu tentang sifat buruknya tiba-tiba menyapa dalam benakku.

Aku memilih duduk di seat dua. Gina kubiarkan duduk bersebelahan dengan Tio.

"Aa, garasi untuk mobil-mobil Aa ditempatkan dimana?" tanya Gina memecah keheningan.

"Dekat rumah. Rencananya mau buka garasi baru lagi, masih nyari-nyari tempat," jawab Tio dengan nada so cool-nya.

"Pegawai Aa ada berapa totalnya?" Gina semakin menambah kekepoannya, aku menyimak saja sambil sesekali berselancar dalam sosial mediaku.

Hatiku terasa mengganjal mendengar setiap penuturan Tio, jariku pun gatal ingin mengetik sesuatu dalam dinding facebook-ku.

Sukses dan berharta tak ada artinya tanpa pendamping setia.

Lalu kutekan "kirim", tulisan itu kini sudah terpampang dalam beranda sosial mediaku.

"Rumahmu di daerah mana? Searah dengan rumah Tania, kan?" pertanyaan Tio membuat aku tersentak. Jelas sekali, karena rumah Gina lebih dekat dari Ramayana, sedangkan rumahku lebih ke arah Utara lagi. Itu artinya, Gina akan turun terlebih dahulu.

"Rumahku lebih dekat, A. Tapi aku ikut antar Tania dulu deh. Gak apa-apa, kan?" suara halus Gina kali ini terdengar lebih merdu. Dia seperti tahu apa yang sedang bergemuruh dalam hatiku. Kali ini aku selamat untuk tidak berdua dengan Tio dalam mobil.

"Boleh." Jawab Tio singkat.

Thank you, Gina! Semoga selamanya kamu bisa mencegah Tio agar tidak dekat-dekat denganku lagi.

Terjerat MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang