"Setidaknya, mereka tidak pernah tahu Ana telah berbohong. Ana harap semua berakhir baik-baik saja."
Alona Ray Zeena
Malam telah larut. Namun, Ana masih setia duduk di depan balkon kamarnya. Menatap gelapnya langit malam yang berisi ribuan bintang, semilir angin dingin menerpa kulit dan rambutnya yang ia biarkan tergerai. Suasana dingin tidak membuatnya terusik ataupun beranjak dari tempat duduknya saat ini.
Matanya terpejam sesaat, merasakan sensasi dingin yang menenangkan.
"Huhh ...." Dengusan kasar terdengar dari bibirnya dengan sedikit menurunkan bahunya yang rapuh, namun masih mencoba untuk tetap terlihat kuat, apalagi di depan mamanya.
"Andai saja Mama tidak kehilangan Papa, pasti sekarang Mama bahagia. Semua karena Ana, semua salah Ana, dan Papa jadi pergi ninggalin Mama. Maafin Ana Ma, maaf," gumamnya pelan dengan air mata yang sudah tertahan di pelupuk matanya. Ana selalu menyalahkan dirinya atas kepergian papanya.
Ana mengusap wajahnya kasar, tidak membiarkan air mata itu jatuh lagi. "Ana nggak boleh cengeng! Sejak kapan cengeng kayak gini? Ana harus kuat demi Mama!" ujarnya menyemangati diri sendiri.
Kemudian berdiri dan beranjak dari balkon kamarnya.
Ia menghempaskan tubuh rapuhnya di kasur, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.
Kemudian ia duduk kembali mengambil sebuah pigura foto di dalam laci nakasnya.
"Ana kangen Papa, tapi Ana lebih benci sama Papa." Ana memperhatikan wajah lelaki dalam pigura tersebut. Bohong jika ia tidak rindu dengan papanya itu. Walaupun ia membencinya, tapi ia masih tetap menyayangi lelaki itu sebagai papa.
Dalam foto itu ada Edwin, Geana dan dirinya yang terlihat sangat bahagia. Dan itu hanya ada di masa lalu.
"Kasihan Mama sendiri sekarang, maafin Ana Ma, belum bisa buat Mama bahagia." Ana memperhatikan wajah seorang wanita yang paling berharga di hidupnya itu.
Lalu ia beralih memperhatikan foto seorang anak kecil yang tersenyum. "Ana janji buat Mama bahagia, Ana janji, Ma!" ujar Ana lalu memeluk pigura tersebut.
...
Hari ini Ana hanya ada satu mata kuliah. Walaupun Ana suka belajar, namun dia lebih suka jika pulang awal. Dirinya jadi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk aktivitas di luar.
Seperti saat ini, Ana baru saja sampai di sebuah gedung yang bertuliskan 'Panti Asuhan Binaan'.
Mamanya tidak pernah tau dirinya sering berkunjung di tempat ini. Dan Ana selalu menggunakan alasan belajar atau mengerjakan tugas saat dirinya telat pulang.
"Kak Ana datang!" seru beberapa anak yang melihat Ana turun dari motor.
Seketika mereka menghambur mendekati Ana.
"Setiap lihat mereka senyum, perasaan Ana jadi adem," gumam Ana lalu membalas senyum dan memeluk mereka yang sudah menanti kedatangannya.
"Hallo, Adik-adik gemes Kakak, apa kabar?" tanya Ana dengan lembut dan ramah. Berbanding terbalik saat dirinya berada di kampus dan tempat keramain lainnya.
"Hai, Kak Ana. Kabar kami baik semua. Kak Ana gimana kabarnya? Kita kangen banget sama Kakak," ujar Mona. Gadis cantik yang berumur sekitar 10 tahun.
"Kak Ana baik sayang, Kakak juga kangen banget sama kalian."
"Kak Ana, Kak Ana. Ayok main sama Iqbal? Kita main petak umpet bareng," pinta Iqbal. Bocah lelaki imut dengan pipinya yang tembem.
"Ana," panggil sebuah suara lembut yang menenangkan khas seorang ibu. Wanita itu berjalan mendekat ke arah Ana, garis alami di wajahnya semakin terlihat, menandakan umurnya semakin bertambah tiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA (e) | END
General FictionALONA (e) ~ A Story by Yeni F. W ______________________________________ "Sendiri itu, NYAMAN." Ana, gadis dingin dengan tatapan tajam. Berwajah datar dan sedikit bicara. Tidak suka basa-basi dan membenci keramaian. Hingga, Leo hadir dalam kehidupann...