ALONA (e) 36

92 14 0
                                    

"Entahlah, semua terlihat abu-abu."

ALONA (e)

Suasana di Bandara Internasional Beijing terlihat ramai. Bukan, bukan karena ingin traveling ataupun bekunjung ke negara lain, melainkan menantikan tim penyelamat menemukan anggota keluarganya yang hilang atau ... kemungkinan saja sudah tewas.

Tidak ada yang bisa memastikan kondisi para penumpang pesawat Adiwijaya Airlines yang beberapa hari lalu mengalami kecelakaan di perairan Laut China Selatan.

Tangisan pilu terdengar mendominasi hampir seluruh manusia yang ada di bandara tersebut.

Satu per satu kantong jenazah dibawa oleh para tim penyelamat gabungan dari negara-negara yang paling dekat dengan jalur penerbangan dan tempat diduganya pesawat Adiwijaya Airlines jatuh.

Setiap keluarga yang merasa ditinggalkan oleh anggota keluarga yang menjadi salah satu penumpang Adiwijawa Airlines, langsung mendatangi para tim penyelamat yang membawa beberapa kantong jenazah, hanya untuk memastikan bahwa ada anggota keluarganya yang sudah ditemukan.

Kemungkinan kecil korban kecelakaan ini bisa selamat. Namun, setidaknya mereka berharap bahwa semua korban bisa ditemukan dan di kebumikan dengan semestinya.

Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Lia dan Edwin saat ini. Setelah menerima kabar bahwa anaknya menjadi salah satu korban kecelakaan maut ini, mereka langsung memutuskan untuk mendatangi tempat ini.

Lia, yang notabene-nya adalah seorang ibu, merasa sangat terpukul mendengar berita buruk semacam ini. Ia baru saja kehilangan anak yang belum pernah dilihatnya, dan sekarang kemungkinan ia juga akan kehilangan Leo.

Anak satu-satunya yang ia sayangi sampai sejauh ini.

"Pa, Leo di mana?" gumam Lia hampir tidak terdengar. Tangisnya pecah saat melihat banyaknya kantong jenazah yang dibawa oleh tim penyelamat.

Edwin memeluk istrinya erat, menyalurkan ketenangan untuk istrinya. Walaupun, nyatanya ia juga terpukul dengan semua kejadian yang tidak terduga akhir-akhir ini.

"Mungkin, mungkin Leo udah sampai di Korea Selatan ya, Pa? Leo maunya 'kan di sana, ketemu sama Ana. Leo nggak mungkin ada di sini, Pa." Kali ini Lia tidak lagi terisak, melainkan berbicara dengan raut wajah senang, seakan memang Leo sudah berada di Korea Selatan.

Lia menatap Edwin yang masih diam. Setetes air mata lolos dari mata Edwin, saat menemukan kehampaan yang ada dalam mata istrinya.

Edwin langsung memeluk istrinya kembali. "Lia, please, jangan kayak gini. Kita berdoa semoga Leo selamat dan segera ditemukan." Ucapan Edwin terhenti. Atau setidaknya bisa ditemukan saja," lanjutnya dalam hati. Ia hanya tidak ingin berharap lebih.

"Kenapa harus mendoakan Leo biar selamat, Pa? Dia baik-baik aja sama Ana di sana. Dia nggak kenapa-napa, pa," jawab Lia. Ia melepas dirinya dari pelukan Edwin, matanya menatap suaminya tajam. Ia hanya tidak mau suaminya berucap seperti itu lagi. Seakan-akan Leo sedang dalam bahaya dan tidak baik-baik saja.

"Mama nggak suka Papa ngomong kayak gitu. Leo itu baik-baik aja, Pa!" ketus Lia.

"Lia, sadar. Kamu jangan kayak gini, Sayang." Entah kenapa hatinya terasa sesak setiap bertatapan dengan mata hitam milik Lia, yang selalu memancarkan keputusasaan, kesedihan dan kehampaan di dalamnya.

Tidak banyak yang bisa mereka perbuat, selain berdoa dan memandang puluhan kantong jenazah di hadapan mereka.

...

"Mama kan udah bilang, Pa. Leo nggak ada di sini. Dia udah ketemu sama Ana sekarang!" Lagi-lagi Lia memberi tatapan tajam kepada suaminya.

Mereka baru saja memeriksa beberapa kantong jenazah yang dibawa oleh tim penyelamat gabungan.

ALONA (e) | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang