SEKILAS CERITA PENGHUNI PERKEBUNAN KOPI

1.1K 109 3
                                    

Hujan!

Riuh, orang yang tadinya berlalu lalang di jalan utama desa yang kebetulan dekat dengan pasar mendadak berlarian menepi untuk berteduh dari serbuan air hujan.

Kedai Kopi yang berjarak tak jauh dari pasar mendadak sepi oleh pengunjung. Beberapa di antara pengunjung beranjak dari duduknya karena muatan sayur yang akan mereka antarkan ke pasar besar kota sudah siap di atas kendaraan masing-masing.

"Hadeh ..., Malah udan." Gerutu Nur, gadis pemilik kedai kopi tersebut.

Raut wajahnya menandakan bahwa ia tengah letih, hari itu Sumi tidak ikut menjaga kedai yang sudah mereka jalankan selama setahun ini karena Sumi sedang demam.

Nur mulai duduk di kursi kasir tempat ternyaman baginya bangunan kecil memanjang miliknya tersebut. Kedua tangannya mulai memijat bagian kepala secara pelan.

Pikirannya melayang bukan karena sepinya pengunjung. Namun, lebih tepatnya karena masalah yang amat serius sedang terjadi pada desanya.

Gadis yang menginjak umur 24 Tahun itu tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara motor berhenti di depan kedai. Matanya menatap pada dua gadis yang menaiki motor tadi, sedang mengibaskan tangan mereka pada jaket masing-masing.

"Berteduh dulu saja Mbak, kelihatannya hujan agak lama redanya." Sapa Nur menawarkan tempat pada dua gadis yang  kehujanan di depan kedainya.

"Makasih Mbak," jawab seorang gadis sambil tersenyum menampakkan gigi gingsulnya.

"Iki warung kopi kan Mbak?" (Ini warung kopi kan Mbak?) Tanya gadis satunya dengan wajah polos menampakkan rambut panjang berwarna pirang.

"Nek takon mbok ojo nduduhno goblokmu Mel," (kalo bertanya jangan menunjukkan bahwa kamu bodoh Mel,) sahut gadis yang memiliki gigi gingsul tadi. Karena sudah jelas terpampang papan nama di depan warung bambu itu bertuliskan, "KEDAI BAHAGIA"

"Sopo ngerti mbak'e dodolan sate yo Mbak?" (Siapa tahu Mbaknya jualan sate ya kan Mbak?) Ujar gadis bernama Melisa tersebut sambil menginginkan senyuman bercanda.

"Yasudah Mbak, aku pesan sate sepuluh tusuk jangan pakai tusuk terus di tambah lontongnya setengah saja." Sahut gadis berambut poni yang di tata menyamping tadi sambil melepaskan jaketnya yang basah oleh air hujan.

"Setengahe sopo seng kate mangan Shep?" (Setengahnya lagi siapa yang mau makan Shep?) Tanya Melisa yang datang bersama Shepia.

"Awakmu!" (Kamu!) Jawab Shepia berlalu memasuki kedai terlebih dahulu.

"Nek kene ora dodolan sate Mbak, wong yo wes jelas nek tulisane kedai kopi! Kok malah pesen seng ora onok," (di sini tidak jualan sate Mbak, Sudah jelas tulisan kedai kopi! Kok malah pesan yang tidak di jual) kata Nur dengan dana agak tinggi.

"Sabar Mbak, sabar, koncoko Iki ancene seneng ngawe uwong sepaneng maklumi ae yo." (Sabar Mbak, sabar, temanku ini memang gemar bikin orang kesal tolong di maklumi saja yah.) Kata Melisa sambil mengelus pundak Nur pelan.

"Sido pesen opo iki?" (Jadi mau pesan apa ini?) Tanya Nur pada kedua gadis yang ia pikir sudah salah menawarkan tempat berteduh.

"Kopi dua Mbak, nek sampeyan gelem yo berarti pesen telu." (Kopi dua Mbak, kalo Mbak mau ya berarti pesan tiga.) Jawab Shepia tanpa menoleh sambil meregangkan jemari di kedua tangannya.

"Shep! Mbok yo uwes. Ndendeng awakmu iki," (Shep! Mbok ya sudah. Keterlaluan kamu ini,) seru Melisa agar temannya tidak melanjutkan gurauan yang membuat pemilik kedai berang.

Sedangkan Nur mulai tertawa terbahak-bahak karena humor receh kedua gadis tersebut.

"Sampeyan iki gendeng a Mbak?" (Mbak sudah sinting?) Tanya Melisa dengan tatapan penuh selidik ke arah Nur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Thread By ShepiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang