TRAGEDI PERKEBUNAN KOPI (Bagian II Tamat)

969 121 3
                                    

Panik akan sosok nenek yang tadinya terlihat seperti pegawai kebun kopi yang ternyata adalah mahluk penunggu perkebunan kopi.

Kaki semakin jauh melangkah, saat itu aku seolah buta arah seketika. Ingin kembali ke jalan yang kulalui tadi saat masuk, namun yang terlihat justru semakin banyaknya cabang jalan setapak yang biasa di lalui oleh pemetik kopi.

Seandainya saja saat itu aku bisa melihat matahari, mungkin, aku akan tahu arah mata angin. Jangankan matahari, sinarnya saja tidak bisa menembus rimbunnya pohon kopi.

Seandainya bisa ku gambarkan dengan kata-kata mungkin suasana di dalam perkebunan kopi saat itu seperti, udara semakin lama semakin terasa berbeda. Tekanan udara yang juga semakin menurun menambah rasa ketakutan dalam diriku semakin terpupuk kuat.

Seolah sedang berlari di tengah hutan dengan keheningan, semakin jauh kaki melangkah tak tentu arah serta tujuan, kabut tipis mulai bermunculan. Bahkan hutan atau kebun yang biasanya di hiasi oleh suara serangga saat itu tidak terdengar.

Kaki berhenti sejenak karena letih, suasana yang tadinya masih terlihat jelas dengan rimbunnya pepohonan berganti dengan kegelapan yang datang terlalu cepat.

Tenggorokan terasa kering, serta keringat yang semakin banyak bermunculan. Di saat itu aku sadar telah mengacuhkan peringatan Mas Deva, yang mewanti-wanti aku untuk tidak pernah memasuki perkebunan kopi.

Terdengar suara wanita yang sedang menangis pelan, suaranya lirih, amat lirih membuat aku harus menajamkan pendengaran untuk suara tangisan tersebut.

Kadang suara tangisan lirih itu seperti di sebelah kiri, kadang di kanan, dan juga di belakangku. Saat aku menoleh ke belakang memastikan siapa pemilik suara tangisan tersebut, tangisannya terdengar dari arah depan suara itu terus berpindah-pindah tidak tentu asalnya, membuat perasaan takut semakin bertambah parah.

Lalu kedua mataku menangkap sosok perempuan yang berdiri di samping pohon, dengan posisi memunggungi diriku yang berada di belakangnya. Baju putih panjang yang ia kenakan nampak kotor oleh lumpur, dari sosok wanita berambut panjang sampai ke tanah tersebut tercium aroma bau busuk.

Yang tadinya aku berniat untuk kembali berjalan meski tidak tahu arah atau kemana harus pergi, langkah tertahan karena sosok perempuan yang kebanyakan di sebut kuntilanak tersebut berada di depanku. Jaraknya memang tidak terlalu dekat, hanya selisih dua pohon saja, tetapi dapat kulihat dengan sangat jelas kedua punggungnya bergerak menandakan sosok kuntilanak tersebut sedang sesenggukan.

Perasaanku mulai merasakan ancaman kembali, perlahan kaki mulai berjalan mundur secara pelan-pelan karena tidak ingin menimbulkan suara berisik agar sosok kuntilanak tersebut tidak menyadari kehadiran diriku.

KRAAAK ..., Sialnya baru tiga langkah mundur kaki sebelah kiri menginjak ranting kering hingga menimbulkan suara pelan tapi terdengar jelas.

Saat itu, posisi kepalaku masih menatap punggung sosok kuntilanak yang sesekali mengangkat kedua bahunya ke atas secara pelan tersebut. Karena suara yang aku timbulkan jelas terdengar maka, sosok kuntilanak itu secara pelan menghadap ke arahku.

Jantung serasa ingin meloncat dari tempatnya, terkejut oleh pemandangan yang belum pernah aku lihat. Mataku nanar melihat ke arah sosok kuntilanak yang sudah menghadap padaku dengan bagian lehernya yang penuh darah, terlihat luka sayatan lebar pada lehernya dan darah yang keluar dari luka di lehernya sampai ke bagian bawah dada sosok kuntilanak tersebut.

Telapak tangan secara reflek menutup mulutku sendiri atas pemandangan mengerikan yang terlihat saat itu. Rasa takutku semakin di tekan dengan sosok kuntilanak yang kulihat, tidak ada yang bisa kulakukan selain lari saat itu.

A Thread By ShepiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang