PAKURTO

980 99 3
                                    

Cerita tentang seorang kepala keluarga yang di kebumikan di dalam rumahnya sendiri.

===

Siang hari tepatnya pada saat jam makan siang. Raya mengajakku mampir ke sebuah warung yang terletak di depan gedung kantor perkebunan kopi.

Secara tidak sengaja aku mendengar obrolan dua orang gadis yang usianya sebaya denganku. Dari baju yang mereka pakai sudah dapat di pastikan jika mereka pegawai di kantor perkebunan kopi.

Karena ceritanya sangat menarik untuk di simak, secara terang-terangan aku nimbrung bersama dua gadis yang sudah menyelesaikan makan siangnya.

Kedua mata mereka menatapku curiga, karena aku yang tidak di undang secara tiba-tiba duduk satu meja bareng mereka.

"Maaf Mbak, saya Riri" kataku sambil mengulurkan tangan salam perkenalan pada kedua gadis tersebut. "Ceritanya bagus, apa boleh saya ikut mendengarkan? Soalnya saya baru tinggal di sini, tetapi dulunya saya asli orang sini." Lanjutku setelah menjabat tangan mereka bergantian.

"Nggak usah pake bahasa formal, kamu keponakan pak Awing kan?" Kata gadis bernama Fara berambut pirang panjang tersebut.

Sementara di sebelahnya seorang gadis yang mengenakan hijab kream tengah duduk sambil menikmati segelas es teh. Raya yang mengetahui aku duduk bersama Fara dan Mbak Elka nampak terkejut, setelah ia memesan dua nasi beserta es jeruk.

Tetapi Fara yang saat itu baru kuketahui adalah keturunan keluarga Ramlan sang pemilik perkebunan kopi, tidak masalah dengan kehadiran diriku menyuruhnya untuk ikut duduk satu meja bersama kami.

Fara, kembali melanjutkan ceritanya. 'PAKURTO' mungkin kalimat itu lebih tepat untuk judul cerita kali ini.

Sebuah lelaku yang di jalani seorang kepala keluarga dengan menjalani lelaku aneh setelah mendapatkan bisikan gaib.

Di desa seberang cerita ini sudah banyak di ketahui oleh warganya, pak Dul seorang kepala keluarga dengan satu istri dan  tiga orang anak.

Lelaku yang di jalani pak Dul bermula ketika masalah ekonomi menguji keluarganya. Dulunya pak Dul merupakan orang yang kurang baik budi pekertinya.

Hampir tidak ada tetangga atau orang yang mau berkawan dengannya, hingga suatu malam pak Dul mendapatkan bisikan gaib dengan melakukan lelaku aneh yang harus ia jalani agar kaya.

Setiap hari mulai petang pak Dul tidak makan dan minum hingga pagi. Ketika malam ia akan berjalan menuju suatu tempat angker untuk melakukan ritualnya. Suatu tempat yang tidak pernah orang jamah saat malam menjelang.

Di bawah pohon kapuk, dengan beberapa pohon kambojo yang tumbuh di sekelilingnya. Pak Dul duduk bersila dengan bertelanjang dada dengan mulut komat kamit membaca kalimat dalam bahasa Jawa kuno.

Bapak tiga anak tersebut melakukan ritual terlarang di pinggiran perkebunan kopi setiap malam.

Sejenak aku berhenti mengunyah makanan yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulut. Bik Hen, si pemilik warung menambahi jika ketiga anak pak Dul mulai gila satu persatu. Lebih parahnya lagi anak sulung pak Dul menggagahi ibu kandungnya sendiri, itu yang Bik Hen tahu melalui kabar burung dari orang-orang yang mampir ke warungnya.

Fara terlihat berat untuk melanjutkan ceritanya, matanya menatap ke arah luar pada bangunan kokoh kantor tempatnya bekerja.

Tidak di sangka, ekonomi keluarga pak Dul memang mulai membaik. Bahkan hari demi hari kekayaannya semakin bertambah. Dengan bertambahnya harta tidak menjadikan pak Dul rendah hati, melainkan ke kikirannya semakin menjadi.

Pernah pak RT setempat menarik iuran dana sebesar sepuluh ribu per satu keluarga setiap bulan untuk tanah makam. Hal itu sudah di diskusikan sebelumnya oleh warga bersama perangkat desa, karena tanah pemakaman di desa sudah terlalu penuh. "Lapo katek urunan barang?" (Ngapain pake iuran segala?) "Sampek kapan urunan teros?" (Sampai kapan iuran terus?) Begitu lah cemoohan pak Dul kepada orang yang menagih uang iuran.

A Thread By ShepiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang