Part 3 { Dilema }

34 4 0
                                    

Kring....
Kring....

Bel berbunyi yang menandakan bahwa jam pelajaran untuk hari ini telah usai, dengan sikap yang masih terbawa untuk sebuah peristiwa membawa kedua kaki ini untuk tidak bisa berpikir tenang. Ditambah lagi dengan jantung yang berdetak kencang seolah membuatku tak henti-hentinya membayangkan akan cinta yang kini tengah berada di ambang kehancuran.

Langkah lebar membawaku untuk turun melalui tangga darurat sekolah dan kembali mengendarai mobil milikku, kegelisahan yang mulai memuncak membawaku untuk tidak pulang ke rumah lebih awal. Ingin rasanya pergi menuju Tebing dimana tempat itu adalah sebuah tempat bersejarah awal temu cintaku dan Rena. Mungkin dengan berada di sana aku akan merasakan kedamaian meski tanpanya, semburat senja merah merona tak pernah meninggalkan hati ini dalam situasi apapun.

Dengan berkendara menggunakan si handal merah, aku melesat dengan laju minimalis menuju Tebing yang akan kutempuh kurang lebih hanya memakan waktu 10 menit saja dari jarak sekolah, sesampainya di Tebing aku turun dari mobil dan segera menuju arah bebatuan yang sangat besar. Badan ini terduduk sembari menatap senja yang berubah kecokelatan, tiba-tiba air mata mengalir begitu saja melintasi lekuk pipi yang tak mau kering akan masalah-masalah kehidupan ini.

Sembari menatap tajam senja aku ingin melepaskan semua beban dalam diriku untuk berteriak sekuat tenaga.

Tidak....
Tidak....

Teriakan ini tak ada satu orang pun yang mendengar, inilah caraku untuk bisa menenangkan jiwa yang hampa dari sekian banyak problematika untuk adegan cinta sebagai manusia. Aku telah menghabiskan sore yang tak ingin beranjak dari tempat untuk kembali pulang ke rumah dan senjapun sudah pulang terlebih dahulu dengan menggandeng rembulan sabit di malam hari ini.

Suara kodok dan jangkrik yang menemani diri ini seakan hendak mengajak untukku bercanda riang. Namun, dengan berat hati malah tingkah bodohku membawa diri untuk tetap memilih duduk diam menatap bintang yang berkedip penuh cinta dan cerita.

Dret....
Dret....

Telpon yang hidup dengan nada suara sengaja aku matikan berulang kali masuk, telpon dari Bi Ira yang sudah pasti ingin menanyakan dimana aku berada saat ini.

"Hallo. Iya Bi, ada apa menelpon?" tanyaku sembari menahan tangis di malam ini.

"Aden, kok belum pulang ini sudah jam berapa Nak." Suara Bi Ira terlihat sangat khwatir dengan keadaanku yang tak kunjung pulang.

Memang tidak pernah aku berbuat seperti ini sebelumnya, biasa kalau aku ada masalah pasti curhat dengan Bi Ira.

"Iya, Bi, ini lagi sama teman-teman mungkin aden gak larut pulang malam ini ke rumah," ucapku lirih pada Bi Ira.

"Den... kalau ada masalah ya cerita, jangan dipendam sendiri. Jangan bohongi Bibi deh, tak biasa Aden seperti ini sebelumnya."

Aku terdiam dan berpikir bahwa ucapan Bibi ada benarnya juga, tak perlu aku memendam semua ini sendirian karena aku masih punya Bi Ira yang kuanggap sebagai Ibu kandungku sendiri.

"Oke, Bi, aden pulang sekarang." Aku menutup telponku.

Kini aku akan segera kembali pulang ke rumah dan bercerita pada Bibi, harapanku untuk masalah ini mendapatkan sebuah solusi agar nantinya bisa terpecahkan untuk masalah-masalah yang tengah kuhadapi. Setelah lama berkendara aku pun sampai di garasi mobil dan berlari menuju rumah.

Tas yang kala itu tengah menempel dipundak dengan cepat aku lempar di kursi sofa hitam ruang tamu, tanpa membuka sepatu aku melompat ke kasur putih dan merebahkan kedua sayapku. Terdengar dari arah pintu seperti ada langkah kaki yang sedang menuju kamarku dengan pintu yang lupa untuk kututup.

Dengan wajah yang tengah menempel dibantal aku mendekam sendirian tanpa menghiraukan siapa pun yang tengah datang menemuiku. Tangan lembut mengelus kepalaku,

"Den... ini bibi kamu kenapa bertingkah aneh seperti ini Nak. Tak biasanya Bibi melihat Aden seperti ini, coba cerita sama Bibi."

"Hmmm..." ucapku singkat.

"Ya sudah kalau tidak mau cerita sama Bibi, jangan menyesal kalau Bibi pulang kampung dan ninggalin Aden di rumah sendirian," ucapan Bibi membuatku untuk bangun dan duduk di depannya.

Aku hanya meratap kasur dan wajah melas masih terpasang sebagai sifat manjaku kepada Bi Ira. 'Tangan Bi Ira menekan daguku untuk menetap wajahnya yang tengah serius untuk memulai sebuah cerita.'

"Bibi tahu, pasti kamu lagi ada masalah'kan. Dan itu sudah pasti tentang cinta kamu pada Rena," kata Bibi yang membuatku tambah malu.

"Enggak kok, Bi."

"Jangan bohongi bibi, Aden itu sudah bibi anggap seperti anak kandung bibi. Dulu ya Aden itu dititipkan ayah Aden ketika usia Aden masih 9 bulan."

"Emang ibu Aden dimana Bi?" tanyaku sembari menatap wajah Bi Ira tajam.

"Ibu Aden sih, meninggal dunia setelah melahirkan Aden, tetapi bibi tidak begitu tahu masalah keluarga Aden. Waktu itu bibi hanya bekerja sebagai penyapu halaman rumah Aden."

Aku kembali meneteskan air mata dan membawa diri ini menjadi tambah sedih dengan masalah dalam hidupku, benak ini terus bertanya akan siapa ibu kandung yang selama ini tak pernah kulihat. Sejak kecil mata hanya menatap wajah Bibi saja. Setidaknya aku sudah sedikit lega dengan berbicara dengan Bi Ira yang sebagai tempat tumpuan untuk mencurahkan kasih sayang dan menampung masalah-masalah konyolku.

Setelah diriku mulai sedikit tenang, aku pun segera mandi dan membersihkan diri. Bibi yang telah beranjak dari kamarku menuju ruang tamu kembali, mungkin Bibi akan beristirahat setelah capek bekerja seharian mengurusi rumahku yang sangat lebar ini. Kubiarkan Bibi untuk pergi dan segera beristirahat, setelah selesai aku menutup kedua mataku sembari menanti pagi hari dengan membawa suasana segar ruang hati ini.

***
Pagi telah tiba, hari ini adalah tanggal merah dan libur sekolah. Aku menghabiskan waktuku untuk mendekam dalam kamar sembari menatap handphone yang tak ada satupun notifikasi dari akun social media, biasanya jika pagi telah tiba pasti Rena sibuk untuk membangunkan dan berulangkali untuk menelpon melalui panggilan BBM.

Tapi tidak hari ini, semua harap yang telah aku tunggu seakan sia-sia. Malah yang ada hanya gosipan murahan teman-teman dengan inbox yang masuk bertubi-tubi menanya kabarku. Langkah kaki turun dari kasur dan membawaku menuju ruang dapur, di sana aku tengah melihat Bibi sedang asik membuat sesuatu yang kutaktahu itu kegiatan apa. Sembari berjalan dengan mengendap-endap menimbulkan sifat jahilku kembali.

Aku melangkah dari arah belakang badan Bibi yang tengah membawa kue bolu. Dengan suara yang keras aku memukul pundak Bi Ira sekuat tenaga,

Dor!

Hehehe....

"Astaghfirullah! Aden ih, ngejutin bibi ajah kamu ini." Tampak wajah Bi Ira semaput dengan sikap jahilku pagi ini.

"Serius banget sih, Bi, emangnya lagi apa itu?" tanyaku penasaran dengan kegiatan yang dilakukan Bibi.

"Ah, mana boleh tahu... kepo kamu." Bibi sudah seperti anak zaman sekarang saja bahasanya.

"Kepolah Bi, soalnya Bibi serius banget loh di dapur aden perhatikan tengah membuat sesuatu."

"Ini loh, Den, kue bolu buatan bibi berwarna cokelat, merah, dan hijau. Sengaja bibi buat dari subuh untuk Aden."

"Untuk Aden Bi."

Aku masih heran mengapa ada banyak kue sebanyak ini, dan Bibi bilang juga sengaja membuatnya dari subuh. Rasa penasaranku bertambah dengan kata-kata Bi Ira barusan tetapi, aku masih diam menatap kue tersebut.

"Aden'kan hari ini sedang berulang tahun, masak lupa sih sama tanggal kelahirannya sendiri," ucap Bi Ira lagi.

Bersambung...

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang