Part 5 { Cinta Tanpa Restu }

25 4 0
                                    

***
Akhirnya kami sampai juga di sebuah cafe dimana tempat tersebut adalah tempat favorite ketika kami masih memulai ikatan asmara. Dari arah parkiran mobil aku melihat banyak sekali orang yang sudah memenuhi lokasi tempat duduk, dengan bergandengan tangan kami masuk melalui pintu putar dan segera mencari kursi yang masih tersisa.

Dari raut wajah Reno tampak jelas bahwa ia sedang memikirkan sesuatu yang aku tidak tahu dengan gelagat anehnya tersebut, setelah menemukan kursi yang hanya tersisa dua tepat dekat di pinggir cafe mambuatku nyaman berada di sini. Dari tempat duduk kami dapat memandang ke arah keluar cafe dan sesekali menoleh arah kendaraan yang tengah melaju di jalan raya.

Kala itu aku dan Reno sama-sama memesan jus jeruk dengan campuran sedikit madu, minuman yang sangat kami gemari dari dulu apa pun suasananya. Seketika aku menatap meja yang banyak bertuliskan menu makanan tetapi, karena gundah yang selalu menyergap membuat diri ini enggan rasanya menelan sesuap makanan. Lirikan kecil selalu terbuang menuju wajah Reno yang selalu menatap ponsel genggamnya.

Karena sifatnya yang mendadak dingin akhirnya suasana malam ini tanpa ucap dan kata. Aku memperbaiki rambut panjangku yang rusak akibat angin malam yang begitu kencang, tiba-tiba tangan kiriku disentuh oleh Reno sembari membuatku sedikit terkejut,

"Sayang, bagaimana dengan perasaan kamu padaku. Apakah kamu masih mencintaiku seperti yang dulu?" tanyanya sambil menatap tajam ke arah bola mataku.

"Kok bertanya seperti itu? Aneh ih, kamu." Jawabku sembari membuang tatapan datar ke arah tembok cafe.

"Dari berbagai masalah demi masalah yang datang tanpa henti seperti ini, membuatku ragu untuk melanjutkan kisah cinta kita." Reno kembali memberi ucapan yang membuatku bertambah dilema malam ini.

"Jadi mau kamu, kita sudahi hubungan ini. Begitu?" tanyaku serius dan menatap kembali wajah Reno.

"Bukan begitu, rasanya aku hampir tidak kuat menjalani cobaan yang bertubi-tubi seperti ini. Belum lagi ayah kamu yang tak suka melihat aku."

"Kalau kamu ingin mundur silahkan saja, agar aku bisa putar arah untuk tidak menutup hatiku yang luka karena janji palsumu," ucapku sambil meneguk jus jeruk berwarna jingga.

Mulut ini kembali diam seribu bahasa dan suasana menjadi bertambah lirih dan sepi, meski di dalam cafe begitu ramai pengunjung tetapi, suasana hatiku tetap sunyi dan menjadikan moment ini sebagai penambah beban dalam pemikiranku.

"Bagaimana kalau kita menikah selepas lulus SMA nanti, bukankah kita sebentar lagi akan menghadapi ujian Nasional." Reno mencoba meyakinkanku lagi.

Mulut ini hanya diam dengan janji lagi dan lagi dia ucapkan dengan bukti yang belum pernah tercapai tingkat kebenarannya. Kata-kata seperti itu hanyalah menambah episode-episode kepedihan nantinya, dan aku tak mungkin berharap banyak dengan sebuah janji yang notabenenya terucap di saat keadaan untuk saling menguatkan.

"Gini ya, Ren, pembahasan kita sudah jelas kalau cinta kita tidak direstui oleh ayah. Bagaimana bisa kita akan menikah secepat itu, apalagi kamu juga belum bekerja untuk memenuhi kehidupan kita nanti." Jawabku memberikan pandangan ke depan akan sebuah kehidupan.

"Kamu lupa dengan kekuatan cinta, apa gunanya Tuhan menciptakan hati dan pikiran kalau tidak untuk kita gunakan sebagaimana mestinya."

Ucapan Reno ada benarnya juga, dengan ucapan seperti itu membuatku untuk berpikir lebih dewasa dalam hal percintaan. Puing-puing pecahan hati menabur jiwa yang semakin rumit dan bingung. Tangan kiri ini seolah bergerak sendiri dan menyentuh pipi Reno yang kala itu hendak meneteskan air matanya.

"Oke, aku akan ikuti semua yang kamu katakan. Jika restu tak dapat kita miliki untuk hubungan ini, jalan terbaiknya adalah kita akan menikah di luar kota. Agar kita bisa berjuang bersama."

"Ah... gila kamu, mana mungkin bahagia tanpa ada restu orang tua," bentak Reno membuatku semakin kesal.

Aku berdiri dan menampar pipi Reno yang sangat lemah akan sebuah perjuangan hidup.

Plak!

Semua orang yang berada di dalam cafe menatap kami berdua dengan sangat heran.

"Perjuangan tiga tahun masih membuatmu ragu dengan kemiskinan hidup nantinya tanpa restu orangtua, ingat Reno, tanpa restu mereka kita bisa jalani hidup dengan bahagia dengan perjuangan. Buktikan semua bukan hanya sekedar janji palsu dan omong kosong," ucapku sambil meneteskan air mata.

Reno hanya terdiam di atas kursinya sembari menyentuh pipi bekas tamparan dari tangaku, suasana ramai menjadi hening dengan tingkah kami berdua yang sedang bertengkar hebat di dalam cafe.

"Kalau kamu ingin mengakhiri semua jangan memberi seribu alasan dan janji Reno, aku mencintaimu tulus bukan karena harta semata jika kamu tak bisa hidup susah mengapa kamu memilih aku dari awal hubungan ini," ucapku lagi sambil terisak tangis yang menemani kedua bola mata.

Tiba-tiba Reno berdiri dan menghapus air mata di pipiku, dengan langkah kecil sontak membuatnya untuk menujuku dan memeluk tubuh yang mulai lemah akan sebuah permasalahan konyol.

Tangisanku pecah dipundak Reno sembari isak tangis yang mengantarkan air mata membasahi jas hitam seorang kekasih. Dramatis akan kepedihan tak mampu terbendung lagi dalam diriku,

"Maafkan aku Sayang, mungkin aku terlalu kekanak-kanakan untuk masalah seperti ini, mulai hari ini akan aku buktikan semua janji-janjiku untuk berjuang mendapatkanmu seutuhnya."

Seakan sudah muak dengan segala ucapan rayuan yang menambah kepedihan, kini yang aku rasakan sudah tidak bisa lagi untuk membedakan sisi baik dan buruk dari kejadian malam ini. Semua bercampur aduk dan menyatu dalam sebuah kekesalan serta kepedihan yang mendalam.

Pelukan hangat dari sang kekasih membuat diri ini lemah seakan tak mampu berucap banyak, kisah cerita hanyalah menambah adegan untuk meratapi sang pemilik kehidupan untuk sebuah keadilan cinta yang begitu penuh liku-liku.

Kedua tangan ini melepaskan pelukan Reno dan tubuh membawaku duduk kembali di atas kursi jingga dengan menekan kepala yang seakan hendak pecah, kelopak mata ini seperti terasa akan hancur dengan aliran air mata yang tak kunjung ada surutnya.

Sembari menenangkan debaran di dalam dada, aku kembali meneguk jus jeruk dan menarik nafas panjang berulang-ulang. Air yang berada di dalam gelas sampai tandas aku minum, seperti sedang berolahraga dengan sport jantung yang semakin membuat berdebar.

Kumelihat Reno kembali duduk di kursinya dan tersenyum manis sambil mengelus rambutku yang sudah rusak akibat kejadian barusan. Ketenangan dengan sentuhan tangannya membuat diri ini semakin merasakan cinta yang tulus dari pria manja tampan seperti Reno. Rasanya tak bisa lagi aku memungkiri bahwa dia memang sayang padaku, dengan tamparan tadi membuatku merasa berdosa telah menyakiti sang belahan jiwa ini yang kelak akan menjadi ayah dari anak-anakku.

Suasana cafe kambali ramai dan tatapan orang-orang tak lagi menuju ke arah kami berdua, aku berharap bahwa mereka tidak mengenaliku dan tidak tahu siapa kami. Barulah muncul rasa malu akibat egoisku dan emosi yang tak terkendali tadi dengan menyakiti seorang pria dengan tidak layak dianggap sebagai wanita soleha.

'Maafkan aku sayang, karena sudah berbuat konyol di depan orang banyak.' Batinku berkata sendiri dan membuang tatapan menuju gelas jus jeruk berwarna jingga milik Reno.

Bersambung...

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang