***
Waktu telah menunjukkan malam hari, aku dan Rena kembali untuk pulang sembari mengantar Rena menuju rumahnya. 'Semoga saja malam ini aku bisa bicara empat mata kepada ayah Rena untuk melamar putrinya yang akan menjadi istriku nantinya. Disepanjang jalan aku membaca doa agar restu malam ini dapat aku miliki segera, dan dapat hidup bahagian selamanya bersama Rena.Akhirnya aku telah sampai di depan rumah kekasihku, pintu rumah yang masih terbuka lebar mengantarkan langkahku untuk bertemu dengan calon mertua yang ada di dalam rumanya tersebut. Dengan menggandeng tangan Rena aku masuk ke dalam rumah sembari mengicapkan salam,
"Assalammualaikum," ucapku lembut di depan pintu rumah.
"Waalaikumsallam, eh, Nak Reno sudah sampai rumah," jawab Ibu dari Rena.
Aku mencium tangan Ibu dan melempar senyum manisku padanya.
"Masuk sini, duduk dulu di sofa bersama Ayah," ucap Ibu lagi.
"Iya Bu, terima kasih," jawabku.
Aku pun segera duduk dengan menghadap arah tempat duduk di atas sofa berwarna hitam yang ada di ruang tamu, aku segera bersalaman kepada Ayah Rena yang kala itu membaca koran dengan segelas kopi hitamnya.
"Eh, Om. Apa kabar?" tanyaku kepada Ayah.
"Hemmm ..." jawab Ayah.
'Sesingkat itukah jawaban dari Ayah menyambut kedatanganku. Astaga! Semoga ini bukanlah awal yang buruk untuk mengutarakan maksud dan tujuanku nanti, celotehku.'
"Ada apa kamu kemari Ren? bukankah kamu sudah tidak saya izinkan lagi bertemu dengan Rena," tanya Ayah kepadaku.
"Maaf Om, saya ada maksud dan tujuan datang kemari," jawabku dengan nada suara lirih.
"Apa maksud kamu?" tanya Ayah lagi.
"Saya ingin melamar Rena, Om."
"Apa! saya tidak salah mendengar 'kan?" tanya Ayah membuatku bisu seribu bahasa.
"Iya Om, saya serius ingin melamar Rena," ucapku sembari menatap wajah Rena yang telah tertunduk menatap lantai.
Seketika suasana rumah menjadi hening dan tak terdengar suara apa pun, yang ada hanyalah suara televisi menemani obrolan serius kali ini. Jantungku terus berdetak kencang dan tak mau berhenti, rasa gemetar seketika menyergap diriku.
"Tidak! Rena sudah saya jodohkan pada lelaki pilihan saya," ucap Ayah membuatku terkejut.
Hujan badai seolah mengguyur tubuhku, dan kepala terasa mendidih dan hendak pecah. Pernyataan yang keluar dari mulut Ayah membuat raga tak mampu untuk berkutik sedikitpun, mulut kelu dan bisu.
"Ta—tapi saya mencintai Rena, Om!" jawabku.
"Rena akan saya jodohkan dengan lelaki pilihan saya! apa kamu tuli. Dan dia akan menikah bulan depan dengan pria tersebut."
"Om ... tolong Om, saya mencintai Rena. Saya ingin menjadi suami dari Rena," ucapku sambil meneteskan air mata yang tak mampu kubendung lagi.
"Maaf Reno, saya tidak merestui hubungan kalian."
Aku hanya merunduk menatap lantai dan menekan kepalaku yang seolah hendak pecah, isak tangis dari Rena menambah kepadihan ini tak kunjung berakhir. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, dan aku hanya bisa pasrah akan semua yang telah menjadi ketetapan dari Ayah. Sebagai orangtua dialah penentu anak gadisnya hendak diberikan kepada siapa.
Dengan berat hati aku pun bangkit dari tempat duduk tersebut dan sembari menoleh Rena yang kala itu menatap wajahku dengan tangisannya.
"Om saya permisi pulang, Bu saya permisi pulang," ucapku dengan ditemani air mata yang tak kunjung berhenti mengalir bagai muara.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)
Action( Telah terbit sebagian part sudah dihapus ) Telah dipandang dari sudut kacamata paling buram akan sebuah kebahagiaan yang terpenting dalam sebuah kehidupan. Harta menjadikan tolak ukur dari setiap pandangan seseorang yang hanya mendikte Tuhan denga...