Part 17 { Bagai Jasad dengan Gaun Pengantin }

26 5 0
                                    

Air minum yang kala itu aku teguk, habis seketika hingga tandas seperti orang sedang kehausan setelah berhari-hari tak meminum air saja, kedua bola mata sesekali menatap dari balik pintu kaca rumah sakit akan terbaringnya tubuh sang pujaan hati ini yang lemah tak berdaya. Mungkin ia sekarang harus melewati masa kritisnya yang mempertaruhkan nyawanya demi sebuah kesembuhan.

"Eh, Tar gue permisi dulu ya, gue ingin membeli sesuatu," ucapku menetap tajam wajah Lestari.

"Elu enggak mau lihat Rena sadar, Ren?" tanyanya sambil mengetik sebuah pesan singkat melalui handphone-nya.

"Nanti gue usahakan untuk kembali, Tar," jawabku sambil menatap ke arah pintu rumah sakit yang sudah ada kedua orangtua Rena untuk menuju ke arahku.

"Oh, oke Ren, hati-hati Lu!" jawab Lestari singkat.

Aku pun pergi melalui jalan yang berada di samping ruangan, rasanya tak ingin bertemu dan berselisih dengan kedua orangtua Rena, yang mungkin mereka telah membenciku sekarang dengan kejadian hari ini. Dari pintu samping rumah sakit aku keluar ruangan dan menuju anak tangga darurat yang belumku lalui sebelumnya.

Pov Rena
'Kini tubuhku lemah tak berdaya, kedua mata yang hanya terpejam dan seolah tak bisa terbuka membawaku hanyut dalam dunia kegelapan. Mungkinkah aku telah mati? tetapi, wajah Reno masih ada di sana menemaniku meski berada di ujung tempatku terbaring.'

Oh Tuhan... mengapa ini terjadi padaku yang lemah tak bisa menerima keadaan seperti ini, entah kekuatan apa yang membuatku untuk tetap membuka kedua mata ini sembari menatap dunia kembali. Aku ingin melihat orang-orang yang aku sayangi, yaitu Reno sang pangeranku dari kerajaan cinta.

Tiba-tiba aku mendengar tengah ada yang membuka pintu ruangan, krak... akhirnya aku membuka kedua mataku dan menoleh ke arah kanan dan kiri sembari rasa sakit yang luar biasa dengan tatapan wajah menuju jarum infus menempel pada tangan kiri ini,

'Aku dimana sekarang? Ini ruangan apa ya? tanya batinku.' Langkah kaki yang aku dengar tengah menuju arahku membuat diri ini tak sabar bahwa itu adalah langkah kaki Reno yang datang menemuiku, pasti aku akan sembuh dan memeluknya erat.

"Rena... Anakku, kamu yang kuat ya Sayang. Ibu selalu ada di sini!" jawab Ibuku yang baru saja datang dari rumah.

"Bu, tadi aku mendengar suara Reno dari balik pintu. Panggilkan dia dan suruh masuk, Bu!" jawabku lirih.

"Reno tidak ada, Nak, dan ibu tak melihatnya yang ada di sini hanya Lestari," ucap Ayahku dengan isak tangis.

"Ren... tadi Reno datang dan menemuimu, akan tetapi setelah melihat kedatangan kedua orangtuamu dia permisi pergi, barangkali dia takut di usir deh," ucap Lestari serius menatapku tajam.

Seketika air mataku keluar sangat deras dan membasahi lekuk pipi yang menanti akan kehadiran sang pujaan hati.

"Apa Reno enggak mau lihat ketika aku menjadi mayat di sini, Tar?" tanyaku pada Lestari yang meneteskan air mata.

"Ren... jangan ngomong gitu deh, kamu pasti sembuh dan kita bisa kembali jalani hari-hari seperti biasa lagi," jawab Lestari lirih.

Aku berulangkali menarik nafas panjang dan membuang melalui mulut, rasanya sesak sekali dada ini meski selang oksigen tengah menempel pada hidungku sejak pagi tadi.

"Permisi... bisa tinggalkan pasien sendiri di sini?"tanya Pak dokter yang membawa dua kantong darah dari pendonor yang bersedia memberikan darahnya padaku.

"Dok, itu darah untuk Rena?" tanya Lestari pada Pak dokter.

"Iya... tadi ada seorang pria yang mendonorkan darahnya tiga kantong sekaligus untuk kesembuhan kamu!" jawab dokter tersebut.

"Maaf, Dok, orang itu siapa?" tanyaku lagi dan ingin tahu siapa pemilik hati mulia tersebut.

"Sudah ya, nanti setelah sembuh akan saya beritahu, untuk saat ini kamu jangan berpikir banyak dan fokos pada kesembuhan saja," jawab Dokter padaku.

Tanpa balas kata aku pun kembali menutup kedua bola mataku sembari bertanya-tanya dalam hati akan orang yang berhati mulia dengan mendornorkan darah sebanyak itu untukku, ternyata di dunia ini masih ada orang baik yang akan membuatku untuk melawan sakit ini. Bagaimanapun darah miliknya akan hidup berdua bersamaku dan mengalir dalam setiap urat nadi tubuh ini.

Mengalir melalui pompa jantung dan membawa darah mengalir hidup melalui rongga aliran yang menyebar di seluruh tubuhku, setelah kesembuhan ini pasti aku akan berterima kasih banyak padanya. Suara jarum pendeteksi yang ada di samping kepalaku berbunyi sangat keras dan membuat kepala ini pusing, zig-zag warna grafik yang mendekati normal berjalan terus menerus.

Selang beberapa jam akhirnya tubuhku bugar kembali karena darah yang telah di masukkan ke dalam tubuhku melalui jarum infus, pandangan kedua mata kembali jernih dan kepala terasa sangat ringan tanpa ada pusing.

"Nah, berhasil... kamu telah berhasil melewati masa kritis kamu sekarang!" ucap Dokter sembari menetapku tajam.

"Alhamdulillah," ucap serempak Ayah, Ibu, dan Lestari yang masih ada di ruang tempat aku di rawat sekarang.

"Oke, pasien jangan di ajak bicara terlalu banyak ya. Biarkan dia istirahat," ucap Pak Dokter lagi.

Ketika ia hendak melangkah keluar dengan memutarkan badanya menuju pintu, aku sangat penasaran dengan siapa yang tengah mendonorkan darah tersebut padaku. Agar nantinya aku dapat membalas semua budi baik orang tersebut yang berhasil membuat keadaan ini jauh lebih baik dan berhasil melewati masa keritis tersebut.

"Dok... tunggu!" ucapku dengan nada sedikit keras.

"Hah... ada apa?" tanyanya.

"Saya penasaran dengan orang yang sudah mendonorkan daranga pada saya, bisakah Dokter beritahu siapa orang tersebut?" tanyaku serius.

"Ta—tapi orang tersebut tidak ingin memberitahu siapapun soal identitasnya," jawab Pak Dokter lagi.

"Aku mohon Dok, agar aku bisa membalas budi kepada orang tersebut nantinya."

"Oke, baiklah. Pria yang memberikan donor darah itu bernama, Reno Pujakesuma dan dia juga membayar semua biaya rumah sakit kamu selama kamu di rawat di sini sampai sembuh! Ada pertanyaan lagi?" tanya Pak Dokter.

Setelah mendengar ucapan Pak Dokter akhirnya air mataku kembali menetes, tak kusangka bahwa pendonor tersebut adalah kekasihku sang pemilik hati mulia yang tadinya kubertanya-tanya sendiri dalam hati. Setelah sayatan yang kuberikan kini dia rela memberikan darahnya untukku agar aku bisa melewati masa keritis.

"Reno...."

"Bu, tolong cari Reno, aku mohon. Tar, cari Reno," ucapku memaksa dengan nada suara lirih.

"Tenang, Nak, jangan terlalu dipikirkan."

"Mengapa semua harus terjadi padaku? Bu, kenapa?" tanyaku sembari menatap wajah Ibu yang menempel di wajahku.

Hatiku bagai pecah berkeping-keping, dan semua puing luka seakan membesar sembari menganga tambah lebar. Aku tak pernah menyangka akan perjuangan Reno sampai seperti ini demi aku, tetapi aku tak pernah membalas sedikitpun dengan apa yang tengah dia lakukan. 'Sejahat inikah aku Tuhan... hukum aku dan cambuk aku bila itu bisa menebus dosa-dosaku,' batinku menangis sedih.

"Sabar, Rena... sabar Sayang. Nanti Ibu akan cari Reno dan membawanya ke sini," ujar Ibu membuat tubuh ini kembali lemah tak berdaya.

"Maafin Ayah, Ren, maafin Ayah."

Setelah kata-kata maaf itu terucap aku pun tak lagi sadar dengan apa yang terjadi padaku lagi, pakaian pengantin masih terpakai di badan ini. Membuatku seakan menjadi mayat pengantin yang diselimuti oleh rasa kekecewaan akan hidup yang penuh dengan ribuan masalah tanpa henti.

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang