Part 4 { Seorang Ayah yang Arogan }

33 4 0
                                    

Bi Ira adalah orang yang sangat istimewa yang aku punya di dunia ini, untuk hari ulang tahunku saja dia ingat betul kapan hari lahir ini terjadi. Air mata menetes begitu saja seolah bagai patung batu yang telah berkarat dihujani oleh sebuah kisah cerita paling menyayat hati. Ayahku tak pernah perduli pada kehidupan ini, memang ayah selalu mengirim uang dan mencukupi segala kebutuhanku. Akan tetapi, diri ini juga butuh kasih sayang seorang ayah bukan hanya menikmati hasil dari material bangkai dunia yang menjadi kebanggannya.

Rasanya iri melihat mereka yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah, meski sederhana tetapi, begitu istimewa. Sebagai lelaki aku tak ingin mendikte kehidupan dan ketetapan yang telah diberi Tuhan, mungkin ini sudah perjanjian kehidupan yang telah aku tanda tangani sebelum aku tetlahir di dunia ini.

"Den... Aden...."

"Ah, iya Bi kenapa ya Bi?" tanyaku dengan tatapan tajam yang mengalirkan sebuah kepedihan melalui lekuk pipi dengan segumpal air mata.

"Aden kenapa menangis? Bukankah ini hari bahagia Aden selama diberi hidup oleh Tuhan setahun lamanya tanpa sakit." Kata-kata Bi Ira membuat mulut ini tak mampu menjawab sedikitpun pertanyaannya.

Rasa sakit dalam hati ini membuat tubuhku memeluk Bi Ira dengan erat, hangat pelukannya adalah kehangatan bagai pelukan malaikat surga yang menjelma sebagai manusia setengah dewa. Tangisku pecah di pundak Bi Ira yang ikut terisak akan suasana pagi hari ini.

"Terima kasih, Bi, hari ini adalah hari yang sangat bersejarah sepanjang hidupku," ucapku sembari merayu Bibi yang kala itu menghapus air mataku.

"Ayo ke rumah Den, kita rayakan hari ulang tahunnya." Bi Ira menggandeng tanganku menuju ruang tamu.

Nyanyian lagu ulang tahun kami senandungkan bersama-sama sembari saling tatap dan sesekali menolah ke arah Bi Ira, dalam hati ini terus bertanya-tanya tentang kekasihku yang tak mengucapkan hari ulang tahunku. Biasanya ia adalah orang pertama yang memberi kata-kata motifasi serta kejutan untuk membuatku bahagia. Sepertinya dia telah lupa untuk mengucapkan hal itu.

Dret....
Dret....

Suara pesan singkat dari handphone masuk dengan notifikasi bahwa pesan itu dari kekasihku tercinta, ( selamat ulang tahun sayang, maaf jika aku tidak ada di sampingmu sekarang. Panjang umur dan selalu mencintaiku. Pertanda: Rena )

Ternyata aku telah salah menilai kekasihku dengan berkata suzon dalam benak ini, dan ia masih mengingat hari ulang tahunku sembari mengungkapkan melalui pesan singkat BBM. Hariku kini sudah komplit, meski tanpa dia setidaknya kini aku bahagia dengan ucapan dan kejutan dari orang-orang yang kusayangi.

Aku kembali membuka handphone dan mencari nomer contak ayahku untuk bertanya kabarnya hari ini, aku ingin memancingnya agar memberikan ucapan.

Dret....
Dret....

(Nomer yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.)

"Sial... operator apaan sih, malah bicara sibuk-sibuk segala." Gumamku sendiri.

Aku kembali menekan nomer handphone ayahku secara berulang ulang.

"Hallo Reno! apa sih, kamu ini mengganggu ayah saja," ucap ayah dengan nada membentak.

"Ayah kenapa sih, kalau bicara sama anaknya selalu begitu, tidak ada lembut-lembutnya." Jawabku melawan kata-kata Ayah.

"Aden, gak baik ih, bicara seperti itu sama ayah," ucap Bi Ira di sampingku.

Tut... tiba-tiba ayah memutuskan telpon dariku.

"Huh... dasar orangtua sinting." Cetusku di depan Bi Ira.

Kala itu Bi Ira hanya menggelengkan kepala saja sembari menatapku tajam, hal seperti ini sudah biasa ia saksikan dan Bibi juga sudah tau sifat ayahku yang sangat arogan tersebut. Kami melanjutkan acara tersebut tanpa mengingat ayah yang entah dimana rimbanya.

POV Rena

'Maafkan aku ya sayang karena sekarang ini aku tak bisa berbuat apa-apa, masalahku berat dengan pertentangan kedua orangtuaku yang ingin bercerai.' Bicaraku sendiri dalam kamar.

Kedua orangtuaku sangat tidak setuju dengan hubunganku dengan Reno, karena mereka tahu bahwa ayah Reno adalah seorang pria yang suka mengganggu istri orang lain. Padahal mereka tak tahu sifat Reno yang baik hati dan penyayang, berbeda dengan sifat ayahnya yang sangat terkenal sebagai pelakor pria.

Akan tetapi, aku tidak pernah memandang kehidupan Reno dari masalah ayahnya, karena aku tahu dan yakin bahwa Reno memiliki hati yang setia. Itu dapat dibuktikan hubungan ini yang sudah berjalan selama tiga tahun lamanya. Hari-hari membuat diri ini dilema dengan berbagai masalah yang terus hinggap tanpa berkurang sedikitpun.

Menikmati kehidupan dengan belenggu kisah dan derita dari sebuah cerita problematika tanpa ada titik ujungnya. Kedua mata tertutup sendiri karena kantuk tak tahan aku rasakan di pagi yang penuh dengan sejuta masalah.

***
Malam hari telah tiba, aku ingin pergi dari rumah sembari mengajak Reno untuk keliling kota mencari udara segar, setelah seharian mendekam dalam kamar bosan menyergap diri ini.

Aku mengambil handphone dan segera menulis pesan singkat di atas layar aplikasi BBM, akhirnya sang pangeranku membalas dan mengiya'kan untuk mengajakku pergi keluar.

Kala itu aku melihat ibu dan ayahku tengah tidak ada di rumah, dan ini adalah kesempatan bagus untukku pergi tanpa pamit. Kalau tidak dengan cara seperti ini pasti akan dilarang nantinya, dengan langkah lebar aku keluar rumah dan berjalan melalui pintu dapur. Langkah kaki mengendap-endap seperti maling yang akan mencuri dan tiba-tiba,

"Rena, mau kemana kamu Nak?" tanya Ibu sembari menyentuh pundakku.

"Eh, Ibu. Rena mau ke—luar sebentar, boleh'kan Bu." ucapku merayu Ibu dengan nada suara yang sangat lembut.

"Keluar sama siapa? dan pulang jam berapa?" tanya Ibu lagi dengan serangan pertanyaan seperti olimpiade debat bahasa Inggris.

"Sa—sama Reno Bu." Nada lirih tengah terucap sembari menetap lantai karena takut tidak di beri izin untuk pergi.

Ibu terdiam seribu bahasa sembari menatap wajahku tajam. Tetapi, aku masih menatap lantai yang kala itu tak ingin melawan perkataan Ibuku.

"Kalau tidak boleh Rena tidak jadi pergi Bu," ucapku sembari melangkah menuju ruang tamu.

"Ren, yasudah pergi sana tapi ingat ya, Nak, jangan pulang malam-malam. Nanti kamu kena amuk sama ayahmu."

'Aku hanya menganggukkan kepala.'

Aku mencium tangan Ibuku sembari pamit untuk pergi, tak lupa mencium pipi kanan dan kirinya agar aku tidak terkena apa-apa saat pergi malam ini.

"Assalammualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam," ucap Ibu membalas salam dariku.

Kedua mata menatap ke arah luar rumah yang kala itu tengah ada Reno menunggu di depan pintu mobilnya, dengan berlari aku menemui kekasih pujaan hati dengan wajah yang sumringah karena tak biasanya Ibu memberi aku izin keluar malam-malam seperti ini. Mungkin karena Ibu tengah memperhatikan sikapku yang rada berbeda dengan mendekam dalam rumah seharian tanpa ada gerak dari tempat tidur.

Kami pun pergi berdua, sesekali aku menoleh ke arah Reno yang sangat tampan tengah menyetir mobilnya. Rasanya aku sudah bersalah sangat besar dengan mendiamkannya dari masalah pribadi keluargaku. Seharusnya dia tak patut ikut serta dalam cerita kelam diri ini kepada keluargaku. 'Maafkan aku ya sayang, sudah bertingkah tidak dewasa padamu.' Celotehku dalam hati.

Bersambung...

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang