Prolog:
Di sebuah hutan belantara, tempat yang jauh dari kehidupan manusia. Kedua kaum dari ras yang berbeda itu tengah mempertaruhkan hidup dan mati demi takhta dan keabadian. Ternyata, kekuatan kekal yang tak terlaksana, membuat bangsa dari Askati harus menerima kekalahan.
"Jordan, bunuh aku sekarang."
"Ha-ha-ha ... aku tidak akan menghabisimu sekarang. Akan tetapi, aku hanya butuh jantung yang kau miliki saat ini."
"Bangsat!"
"Magenta ... Magenta. Aku tidaklah sebodoh yang kau pikirkan. Mana mungkin aku menghabisi nyawamu secepat itu, bila nyawamu hilang. Maka, jantung itu akan mati."
Seketika ludah pun tengah aku lempar pada lawan pertikaian.
Cuih!
"Bangsa vampir akan lenyap dari muka bumi ini suatu saat nanti."
Tanpa membalas perkataanku, Jordan memasukkan tangan kanannya tembus melalui dada. Aku pun meringis kesakitan. "Ach ... tidak ...."
Seketika Jordan si raja vampir itu mengambil jantungku dan meramasnya beberapa kali. Nyawa kini telah pergi, bersama dengan sebuah angan yang kelak dari RAS ASKATI bisa membalas dendam saat ini.
Tujuh belas tahun kemudian ...
Brama POV
Namaku Brama. Lebih lengkapnya, Brama Vance Eripmav. Saat ini, aku masih duduk di bangku SMA Tunas Bangsa. Bersama sang adik—Nakula—saudara kembarku. Kami memiliki lima geng yang paling ditakuti seantero SMA.
Di sebelah kiri, ada Jack dan Gilbert. Sementara di samping kanan, ada Nakula dan Angkasa. Melintasi halaman sekolah dengan menyumpal telinga dengan eartphone berwarna putih, tatapan kami hanya lurus ke depan tanpa mempedulikan cewek-cewek yang memekik di pinggir barisan.
"Wah, ganteng banget mereka."
"Iya ... gue mau, dong, sama Brama."
"Lihat kumis Brama, bikin nafsu gue naik aja tahu enggak."
"Apalagi Nakula, astaga ... mereka manusia atau bukan, sih? Masuk ke dalam kelas aja udah seperti presiden."
Begitulah perkataan mereka ketika kami sedang berjalan di tengah padatnya para siswa dan sisiwi yang ada di sekolah. Menyingkir dari hadapan tanpa ada yang menyuruh, memang hidup sebagai cowok paling ganteng di sekolah membuat kami selalu menjadi pusat perhatian.
Dari ujung penglihatan. Tepat di ambang gedung dua, aku menghentikan langkah. Entah kenapa, jiwa merasa tertarik dengan sosok wanita cantik yang tak pernah terlihat sebelumnya. Sementara ketiga teman dan saudara kembarku, sudah memasuki ruang kelas lebih dulu.
Seketika rasa penasaran menghujaniku. Tak pernah dalam hidup ini merasakan panah asmara ketika awal jumpa, meski terbilang masih terlalu muda untuk memikirkan dunia percintaan. Namun, apa salahnya jika aku kenal dengan wanita itu.
Sesampainya di gedung dua, wanita berparas cantik tadi malah menghilang. Rupanya, gelagat anehku ini telah terpantau oleh saudara kembarku dari balkon lantai dua.
Sepanjang waktu, aku selalu memikirkan gadis cantik itu. Entah apa yang mendasari jiwa, membuat penglihatan di papan tulis hanya terlukis wajahnya saja.
Dari arah belakang, Nakula memukulku. "Bang, lu lagi mikirin apa, sih? Melamun aja!"
"Ah ... ini. Gue ... lagi mau nulis soal-soal di papan. Emang kenapa?" tanyaku. Kemudian, dengan tangan kanan, aku merogoh tas untuk mengambil pulpen.
Ketika kedua bola mata menatap lembaran kertas, wajah wanita itu muncul dan tersenyum semringah. Karena kehadiranya datang secara tiba-tiba, aku pun terkejut dan sedikit berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)
Ação( Telah terbit sebagian part sudah dihapus ) Telah dipandang dari sudut kacamata paling buram akan sebuah kebahagiaan yang terpenting dalam sebuah kehidupan. Harta menjadikan tolak ukur dari setiap pandangan seseorang yang hanya mendikte Tuhan denga...