Part 18 { Permintaan Terakhir }

23 5 0
                                    

POV Reno
***
Hari terus berganti hari, tak terasa bekas jarum yang ada di tangan ini masih terasa lebih sakit ketimbang di awal pertama tusukan. Rasanya semakin hari semakin pegal saja, tapi tak apa-apa mungkin dengan begini aku akan puas telah memberikan sebagian dari anggota tubuhku pada Rena, sembari cintaku tetap hidup dalam setiap aliran darah yang mengalir menuju urat nadinya.

Mungkin aku tak bisa memiliki tubuhnya secara utuh tetapi, aku akan tetap hidup bersama darah yang aku alirkan di tubunya. 'Ya allah... kuatkan Rena, dan berikan iya kesembuhan atas segala sakit yang tengah ia hadapi sekarang. Cukup aku saja yang merasakan betapa sakitnya cobaan yang engkau berikan, tak usah Rena mengalami ini semua amin...'

Setiap hari aku memakan buah-buahan yang segar dan protein yang banyak agar tubuh tidak lemas lagi dan kembali bisa beraktivitas seperti biasanya, tetapi kepalaku masih terasa sangat oyong dengan hal itu. Pagi yang indah membawa senyumku lewat nada-nada kicauan burung yang tengah bersenandung di balik horden tembok kaca kamarku, tampak suasana di luar sana sangat nyaman.

Sesekali kedua mata menoleh arah langit-langit kamar yang telah ada kupu-kupu warna-warni sedang terbang dan mengajak diri ini untuk ikut masuk dalam alunan nyanyian mereka. Mulut terasa keluh dan ucap terasa bisu, badan terasa malas untuk keluar dari kamar dan aku memilih untuk diam sembari mendakam di atas kasur putih ini. Dari arah luar aku mendengar suara kaki yang tengah berjalan ke arah kamar tidurku,

Tok-tok-tok!

"Aden... sudah bangun belum?" tanya Bi Ira dengan nada suara yang lembut.

"Belum, Bi, 'hehehe' "jawabku sembari meledek dan tertawa dalam hati.

"Belum bangun, kok bisa ngomong Aden? ada-ada saja deh," ujar Bi Ira dengan mengetuk pintu berulang-ulang.

"Bentar, Bi, bentar...."

Aku pun segera turun dari kasur sembari berjalan menuju pintu kamar dan membukanya, krek....

"Ada apa ya, Bi?" tanyaku sambil menatap tajam wajah Bi Ira.

"Ah, enggak... cuma mau bilang kalau sarapan sudah siap dan segera makan."

"Oh cuma itu? aden kira apaan," ucapku sembari menatap datar ke arah Bi Ira.

Tanpa membasuh wajah aku pun segera berjalan menuju meja makan di temani oleh Bi Ira yang kala itu mengikuti dari arah belakang tubuhku. Suasana sunyi rumah ini paling aku rindukan semenjak aku ke luar negeri beberapa hari lalu, ternyata gak ada tandingannya suasana seperti ini di rumah. Hal yang paling aku rindukan adalah masakan Bibi yang sangat lezat menggoyangkan lidah ini untuk terus makan sebanyak-banyaknya.

Setelah sampai di tempat duduk aku pun segera mengambil nasi dan sayur, dari gelagatnya Bi Ira hendak pergi lagi menuju dapur dan memasak sesuatu. Aku ingin mengajak Bi Ira untuk makan berdua bersamanya, tak mungkin bila dia hanya bekerja terus tanpa mengisi perutnya.

"Bi, Bibi..." panggilku dengan nada suara sedikit mendayu.

"Iya Den, ada apa?" tanyanya.

"Makan sini, Bi, temani aden sarapan!"

"Ah, enggak usah, Den, masih banyak pekerjaan yang musti bibi kerjakan di dapur."

"Kalau begitu, aden enggak mau makan deh," jawabku dengan memasang wajah manyun.

"Ih, kok, di lihatin terus makanannya? buruan makan gih."

'Aku menggelengkan kepalaku dan menolak suruh dari Bibi.'

"Oke... Bibi akan temani sebentar ya...."

"Nah, gitu dong'kan aden jadi semangat makan paginya," ucapku sambil membuang senyum ke arah Bi Ira.

Hati ini merasa tidak tega untuk memakan olahan sebanyak ini sendirian, rasanya serakah sekali bila aku tak mengajak Bibi. Apalagi dia yang sudah masak sebanyak ini dari subuh hingga sekarang, hitung-hitung ini adalah caraku untuk membalas budi Bi Ira sang malaikat yang tampak di bumi ini.

Dret-dret....

Suara telpon berulang kali berbunyi di samping tempat dudukku tetapi, aku tak mau mengangkat karena etika dalam makan tidak boleh melakukan aktivitas lain, selain fokus makan karena pamali apabila melanggar etika tersebut.

Dret-dret....

Berulangkali hanphone-ku berbunyi dan getarannya sangat terasa mengenai tangan serta piring yang saat ini ada di hadapanku.

"Den... coba lihat dulu gih, barangkali penting!"

"Ah, enggak'kan masih makan?" Jawabku sembari bertanya pada Bibi.

"Di cek dulu dong, nomernya... nanti telpon dari Ayah," ujar Bi Ira menatap wajahku tajam.

Tanpa membalas ucapannya akhirnya membuat tangan kiri mengambil handphone yang mengganggu sarapan pagiku, tampak jelas bahwa nomer tersebut tidak ada namanya dan merupakan nomer baru. Sontak aku mematikan nomer tersebut dan kembali meletakkannya di atas meja makan, 'sudah pasti itu adalah telpon dari orang iseng atau orang yang ingin mengganggu saja,' celotehku dalam hati.

"Telpon siapa, Den? kok dimatikan seperti itu?" tanya Bi Ira.

"Ah... paling orang iseng, Bi, tidak ada namanya kok." Jawabku dengan melanjutkan kembali sarapan pagi.

Setelah habis menyantap satu piring nasi akhirnya membuat diriku untuk menambah makan, terasa hari ini sangat membuat diri ini lahap sekali makan. Mungkin karena di temani oleh Bi Ira yang duduk tepat di depan mataku, hal seperti ini tak jarang aku dapatkan karena Bi Ira tak pernah mau ketika di ajak makan bersama.

Dret-dret!

'Sial... kenapa sih, handphone ini terus berbunyi. Kurang kerjaan sekali mengganggu pagi-pagi,' batin ini berdialog sendiri.

"Angkat saja, Den..." suruh Bi Ira.

Aku pun mengambil handphone-ku lagi dan mengangkat telpon tersebut.

"Hallo... dengan siapa ya?" tanyaku pada penelpon tersebut.

"Hallo, Nak Reno, ini ibunya..Rena. Maaf pagi-pagi begini mengganggumu, Nak." Jawab suara melalui telpon tersebut, yang suara itu adalah Ibu dari Rena.

"Iya, Bu, ada yang bisa saya bantu?" kataku sambil menatap wajah Bi Ira yang sedang duduk sembari mendengarkan percakapan kami melalui telpon.

"Ibu, mau mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kemuliaan hati kamu yang sudah mendonorkan darah untuk anak Ibu. Serta ibu berterima kasih juga karena kamu membayar biaya pengobatan Rena sampai sembuh, terima kasih Nak."

Terdengar suara isak tangis dari Ibu Rena yang membuat hatiku terasa kembali tersayat-sayat.

"Ah, tidak apa-apa. Jangan dipikirkan lagi, Bu, saya ikhlas membantu."

"Nak, Ibu mau bertanya padamu satu hal Boleh? dan ibu harap kamu mau menuruti keinginan ibu kali ini saja," tanya Ibu sambil mengambil napas panjang berulang kali.

"Apa itu, Bu?" tanyaku penasaran.

"Maukah kamu menikahi Rena, Nak?" tanyanya lagi dan membuat telinga ini seakan tak percaya dengan ungkapan kata tersebut. Sontak aku meletakkan sendok di atas piring yang penuh nasi.

"Ma—maksud Ibu? bukankah saya tidak mendapat restu untuk hal itu?" jawabku sambil bertanya berulang-ulang.

"Nak... kami sudah merestui hubungan kamu dan Rena dengan ikhlas dan lapang dada, maaf'kan kami sekeluarga yang tak pernah menghargai perjuanganmu untuk anak ibu."

Sontak handphone tersebut mati dengan sendirinya dan membuat aku semakin bingung dengan hal tersebut. Sedih bercampur gembira tengah melintasi isi kepalaku, tetapi aku tak pernah bermimpi bahwa mendapatkan restu secepat itu dari segala peristiwa yang telah terjadi.

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang