Part 20 { Kematian Istri Satu Detikku }

37 4 3
                                    

***
Sssiiittt....
Akhirnya kami berdua sampai juga di rumah sakit tempat dimana Rena telah di rawat oleh Dokter, dengan segera dan langkah yang lebar aku menggandeng tangan kiri Bi Ira sembari masuk melalui pintu depan ruangan rumah sakit. Aku telah paham jalan menuju ruang anggrek lantai dua dimana Rena sedang berada di sana, kami menaiki anak tangga dan sesekali aku menoleh arah kanan dan kiri.

Banyak sekali orang-orang yang sepertinya hendak menuju ke lokasi yang sama, aku terus bertanya-tanya dalam hati akan peristiwa indah pasti akan segera terjadi pada hari ini. Tak lama, aku pun sampai di depan pintu ruang kamar anggrek. Aku melihat di sana telah ada Bapak penghulu serta para teman-temanku yang sontak menatap tajam ke arah tubuh ini berpijak sekarang.

Aku tak menyangka bahwa semua berkumpul di lokasi tersebut, tetapi aku tak melihat Rendy yang merupakan calon suami Rena beberapa hari lalu menggelar acara akad nikah. Dengan langkah kecil aku melintasi para orang-orang yang berhadir untuk segera masuk ruangan kamar anggrek dan menemui Rena secepatnya, di tangan kanan sudah ada sepasang cincin permata putih dimana cincin tersebut adalah merupakan pilihan sang kekasihku.

Debaran dada semakin kencang setelah aku memasuki pintu depan rumah sakit tersebut, dan aku pun duduk di atas kursi tepat dimana tubuh Rena masih terbaring dengan pakaian gaun pengantin berwarna putih lengkap dengan hijab berwarna putih juga. Aku mengelus kepalanya sembari mengucapkan kata 'Bismillah.'

"Sayang... ini aku, Reno, buka matanya!" ucapku di depan tubuh lemah sang kekasih tercinta.

"Ren... kamu ada di sini? Ren... aku sayang sama kamu, aku mohon jangan tinggalkan aku ya!" jawab Rena dengan nada suara lirih.

Tiba-tiba air mataku terjatuh begitu saja, tak mampu rasanya aku membendung semua yang tengah aku saksikan sekarang. Sesekali aku melirik ke arah Bi Ira yang kala itu sedang menangis menatap ke arah kami berdua, para tamu serta Pak penghulu juga ikut terhanyut dalam percintaan kami yang penuh dengan lika-liku kehidupan dan cobaan yang sangat dahsyat.

"A—ku janji, enggak akan ninggalin kamu, Sayang. Kamu yang kuat ya, sebentar lagi kita akan menikah di ruangan ini," ucapku dengan terisak tangis yang masih menemani.

"Benarkah? Kamu akan menikahiku, sekarang!"

"Iya, benar. Ini aku bawa cincin permata berwarna putih, yang merupakan cincin pilihanmu waktu itu. Aku harap dengan setelah kita menikah, kamu dapat kembali sembuh dan menjadi istri aku selamanya."

'Aku mengambil tangan kanannya dan mencium tanpa henti, air mata ini ikut ambil andil dalam peristiwa kelam hari ini.'

Aku yang kala itu menatap tajam menuju Pak penghulu dan hendak mengatakan bahwa akad nikah segera dilakukan di tempat ini, tanpa membuang-buang waktu lagi.

"Pak, bisakah kita mulai ijab kabulnya sekarang?" tanyaku sembari meminta untuk mempercepat waktu ijab kabul.

"Oh, kamu susah siap!" jawab Pak penghulu.

"Isyaallah saya siap, Pak!"

Setelah mendengar permintaanku Pak penghulu segera mendatangi tempat duduk kami, kala itu Pak penghulu berada di sampingku dan menatap tajam ke arahku.

"Oke, bisa kita mulai saudara-saudara?" tanyanya pada para tamu dan pada kedua saksi.

"Bismillahhirrahman nirrahim... saya nikahkan, Ananda Reno Pujakesuma bin Rikas Maulana dengan Rena Sazmitha binti Syarifuddin dengan mahar emas dan seperangkat alat shalat di bayar tunai!" ucap tegas pak penghulu.

"Saya terima nikahnya dan kawinya Rena binti Syarifuddin dengan mahar tersebut di bayar tunai!" jawabku dengan cepat.

"Bagaimana saksi? sah?" tanya Pak peghulu pada kedua saksi.

"Sah..." jawab kedua saksi.

Setelah kata sah tersebut telah terucap Pak penghulu membaca ayat-ayat suci alquran sampai selesai. Aku yang kala itu melirik Rena yang tengah menatap tajam ke arahku rupanya dia tengah tersenyum indah sembari menyentuh tangan kiri ini.

'Aku segera memakaikan cincin di jari manisnya, dan ia mencium tangan kananku.'

"Reno... aku mencintaimu," ucap Rena dengan suara lirih.

"Sayang... sekarang kita sudah sah menjadi pasangan suami dan istri, kini perjuanganku telah berada di ujung cerita kisah kita. Aku mencintaimu," ucapku 'sembari mencium khening Rena yang kala itu tiba-tiba tertidur pulas dengan air mata yang mengalir di kedua bola matanya.

"Sayang... kok malah tidur sih, biasanya mencubit pipi aku," ucapku sambil menggandeng tangannya yang tengah lemah tak berdaya.

Aku semakin heran dengan keadaan yang telah aku saksikan sekarang, tiba-tiba tubuh Rena lemah tak berdaya.

"Ren... Rena, Sayang... bangun sayang," ucapku pada para tamu dan Pak penghulu yang kala itu berada di hadapanku.

Sontak Pak penghulu menyentuh urat nadi Rena yang masih meneteskan air mata.

"Pak, kenapa, Pak? Rena kenapa, Pak? ucapku dengan seribu pertanyaan.

"Innalillahi wainnailahi roziun...."

"Pak, maksud Bapak apa ini? Pak," ucapku dengan suara histeris.

"Nak, Reno, yang sabar ya. Istrimu sudah pulang bersama Allah," jawab Pak penghulu yang sontak membuat kepalaku hendak pecah.

"Tidak... tidak mungkin," ucapku lagi.

"TIDAK...."

"Rena... bangun, Ren, istriku bangun. Aku mohon bangun."

Tangisku pecah di tangan kanan sang istri yang baru saja melangsungkan pernikahan, aku tak henti-hentinya mencium tubuh istriku yang telah lemah tak bernyawa.

"Aden... sabar, Nak ikhlaskan dia. Allah lebih sayang padanya," ucap Bi Ira dengan tangisan yang histeris.

Aku pun memeluk tubuh Bi Ira sembari meratap kejadian yang seolah tidak mungkin benar-benar terjadi pada hari ini.

"Tidak...."

"Ya Allah... apa salahku hingga kau begitu kejam memperlakukan kisah hidupku," ucapku sambil memukul besi tempat tidur istriku.

"Istighfar, Sayang. Sabar... semua sudah menjadi ketetapan Allah. Sabar, Nak," ucap Bi Ira sembari mengelus pundakku yang telah rapuh akan hidup ini.

Peristiwa yang memilukan telah terjadi dengan singkat, baru saja aku menikahi wanita dengan berjuang bertahun-tahun lamanya tetapi, kini ia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Baru beberapa detik saja aku memilikinya dengan ijab kabul sebagai pengikat resmi sebuah hubungan tetapi, Allah lebih dulu menjemput nyawanya.

Tak pernah kusangka dan tak pernah kuduga bahwa hidup ini begitu tidak adil terjadi pada jalan cerita hidupku, kini aku sadar bahwa di dunia ini tak perlu ada lagi yang namanya perjuangan. Sekarang aku hanya memilih untuk tidak membuka hati ini selamanya, peristiwa begitu kelam telah memisahkan diri ini dengan tulang rusukku.

Bagaimana aku bisa memutar kembali waktu, setelah aku telah dipecundangi oleh sang penghuni alam semesta.

Sore hari telah tiba, tanpa menunggu lama akhirnya para tamu ikut mengantarkan jasad Rena ke rumahnya sembari memandikan tubuh lemah tersebut. Kini aku benar-benar kehilangan untuk selamanya, dan dari patok batu nisan telah terukir namamu sebagai wanita Allah. Air mata ini tetap mengalir deras di atas makammu yang telah menimpah tubuh orang yang paling aku cintai dengan setumpuk tanah.

Dengan kecupan terakhir di batu nisan mengakhiri kisah hidup kita sebagai pejuang cinta, Sayang... aku mencintaimu selamanya.

{ TAMAT }

DIKUBUR DI HARI ACARA SESERAHAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang