Bab 1

3.8K 209 0
                                    

"Anda puas sekarang?! Saya mengundurkan diri dari pekerjaan ini."

Sambil menangis, Davina mencopot topi dan apron yang menjadi seragam kerjanya. 

Sudah dua bulan dia menjadi pelayan di sebuah restoran yang menyajikan berbagai makanan khas Korea. Namun sayang, sepertinya ia harus mengundurkan diri hari ini. Seorang gadis muda berusia sekitar Sembilan belas tahun mempermalukannya di depan semua pelanggan dan karyawan restoran.

Ini semua karena ulah bosnya, pemilik restoran ini.

Kilas balik.

Windu Satria merasa sangat kesal. Seorang gadis mengikutinya tanpa henti, gadis belia itu bilang dia jatuh cinta pada Windu. Hampir setiap hari datang ke restoran miliknya dan memaksa ingin bertemu dengannya.

Gadis bernama Dinda itu juga menerornya dengan telepon dan pesan-pesan cinta yang membuatnya ingin muntah. Sejujurnya, Windu merasa sangat terganggu, bisa saja dia melaporkannnya ke polisi karena sudah membuat hidupnya sangat tidak nyaman dan merasa terancam. Tapi, dia masih manusia, ada rasa kasihan, apalagi jika mengingat orang tua gadis itu, mereka adalah teman baik ayah dan ibu Windu.

Pagi ini, saat baru saja datang untuk bekerja, dia dikagetkan dengan kehadiran Dinda.

"Hai, Kak Windu! Selamat pagi."

Windu tidak menjawab, dia ingin Dinda tahu bahwa kehadirannya sangat tidak diharapkan. "Jangan ikuti saya!" katanya galak.

Dinda memang sering memasuki ruangannya tanpa izin, lalu melakukan hal-hal yang sangat membuat risih.

"Kak Windu! Gak apa-apa kalau kakak enggak suka sama aku sekarang, tapi besok-besok, kakak pasti jatuh cinta sama, aku gak akan nyerah."

"Gak mungkin saya jatuh cinta sama gadis nyebelin kayak kamu. Asal kamu tahu ya, saya ini sudah ada pacar. Jadi, tolong jangan ganggu lagi! Kecuali kamu mau dapet predikat sebagai pelakor!"

Dinda terhenyak sesaat, tapi kemudian dia terkekeh.

"Hehe, aku tahu Kakak pasti bohong kan?! Aku sudah tanya sama om Satria, beliau bilang Kakak belum punya pacar tuh."

What?! Sialan!

Windu tidak menyangka Dinda bersikap sejauh itu, sampai bertanya tentangnya kepada Papa dan Mama.

"Kalau gak percaya ya udah. Gak penting juga sih, kamu mau percaya atau enggak!"

Dinda memandang tak percaya, lalu berkata, "Kalau emang Kakak punya pacar, siapa? Tunjukkin dong!"

Mendengar kata-kata Dinda, laki-laki itu jadi gelagapan. Sebenarnya, dia memang hanya berbohong, tapi dia tidak mau Dinda terus menerus menguntit dirinya.

Entah kebetulan atau apa, seorang pelayan berjalan melewati Dinda dan Windu yang sedang bicara di tengah lorong.

"Dia pacarku! Kenalin! Namanya Davina."

"Eh! Apa ini?" Davina yang saat itu sedang membawa tumpukan nampan merasa kaget, karena tangannya tiba-tiba saja ditarik, lalu  diperkenalkan sebagai pacar, dan lebih kaget lagi saat ia melihat siapa yang telah mengklaimnya sebagai pacar secara sembarangan.

"Please, kamu diem! Tolongin aku. Kali ini aja."

Windu berbisik di telinga Davina, memohon agar wanita itu diam, dan mengikuti permainannya.

"Ini bohong kan?!" Dinda terdengar tidak terima dengan pengakuan laki-laki pujaannya.

"Ini beneran, kita udah jadian lima bulan lalu. Iya, kan?!" kata Windu pada Davina, mata laki-laki itu memancarkan tatapan memaksa.

"Eh, iya!  Eh, enggak! Maksudnya, iya." Sumpah! Davina bingung harus mengatakan apa.

"Bilang aja 'iya'! Tolongin aku, nanti kamu dikasih bonus gajian nanti." Lagi-lagi Windu berbisik di telinga Davina.

"Beneran?" Dinda bertanya penuh selidik kepada Davina.

"Iya, benar."

Windu bersorak dalam hati, akhirnya karyawan yang bernama Davina, yang ia tahu dari nametag yang dipakainya, bisa diajak kerja sama.

Setelah  itu, Dinda pergi meninggalkan restoran Windu dengan wajah dipenuhi raut kesal. Dia tetap tidak terima laki-laki pujaannya sudah memiliki seorang kekasih.

Lalu hari ini, dia datang lagi. Gadis itu menyiramkan segelas teh manis milik seorang pengunjung ke kepala Davina, lalu mempermalukannya.

Di depan semua orang, dia menyebutkan tentang latar belakang Davina, sebagai anak hasil perselingkuhan, dan ayahnya yang sedang dipenjara karena kasus korupsi dan beberapa kasus lainnya. Rupanya dia mhir sekali melakukan penyelidikan.

Windu yang menjadi sebab dari semua ini diam saja, tidak mencoba untuk menyelamatkannya, dia bahkan melihat Davina dengan tatapan mengejek, sama seperti yang lainnya.

Kilas balik selesai.

***

"Loh, kok udah pulang?"

Danila mendapati sepupunya ada di ambang pintu. Seharusnya wanita yang bernama Davina itu masih ada di tempat kerjanya.

Tidak ada jawaban untuknya, yang ada justru suara 'brug!' karena Davina menjatuhkan dirinya di atas sofa.

"Bajunya basah gini sih?" tanya Danila. Kemeja yang digunakan sepupunya itu memang terlihat lepek dan bernoda.

Davina menceritakan semua yang terjadi pada Danila.

"Jadi, aku resign, sakit hati," katanya dengan suara pilu.

"Gak apa-apa, kamu bisa cari kerja lagi." Danila membesarkan hati sepupunya.

"Atau kamu di rumah aja dulu, biar aku yang kerja di luar."

Sejak setahun lalu Danila kembali ke rumah Bunda Siska, atas ajakan Davina. Situasi di antara mereka juga sudah berubah, kembali seperti dulu, saat mereka baru saja berkumpul dalam satu keluarga.

Mereka berdua bahu membahu mengurus Bunda Siska, menyediakan makan dan biaya berobat, juga atas biaya hidup sehari-hari.

Kalau soal Dini dan Dewa, sudah ditanggung sepenuhnya oleh ayah mereka, yaitu Haris, makan, jajan termasuk biaya sekolah. Kadang-kadang juga dibantu oleh orang tua laki-laki itu. Pastinya, sepasang anak kembar itu tidak akan dibiarkan kekurangan apapun.

Tiba-tiba Davina menangis.

"Kok nangis?" Danila jadi khawatir.

"Mungkin aku emang gak pantas punya kehidupan yang baik. Gak mungkin bisa bahagia kayak orang lain." Suara Davina terdengar begitu pilu.

Bagaimana tidak, sejak kecil hidupnya begitu menderita, disisihkan oleh keluarganya sendiri karena status ibunya sebagai wanita simpanan, lalu sekarang, setelah ayahnya di penjara, dia tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan, bahkan harus bergantung hidup pada Danila, sepupunya, yang juga orang yang sudah disakitinya selama bertahun-tahun.

"Sssh! Jangan ngomong gitu," kata Danila, "kamu pasti bisa menemukan kebahagiaan suatu hari nanti. Ingat! Vin, kamu gak sendiri, ada aku, Bunda dan juga Dini dan Dewa. Kita adalah keluarga, kita akan saling menyayangi dan menopang satu sama lain."

Danila memeluk sepupunya yang sedang dilanda gundah, sejak dulu, perasaannya tidak pernah berubah. Dia memang pernah merasakan kecewa pada Davina, tapi rasa sayangnya jauh lebih besar.

Bersambung.

Catatan:

Sebelumnya terima kasih kepada siapapun yang mungkin akan menyimak cerbung ini. Mungkin tidak bisa update cepat-cepat, karena laptop penulis sering ngadat, sepertinya minta 'dilembiru', hehe. Semoga menghibur ya.

Salam sayang.

Ummu_Hafsah

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang