Bab 4

2.1K 168 0
                                    

Davina yang sedang sibuk mencuci piring mendengar suara mesin mobil dari beranda rumah, itu pasti Dini dan Dewa. Dia bergegas membuka pintu.

Dua anak kecil berparas serupa masuk ke dalam rumah dengan tampang lesu. Setelah berada di dalam, mereka melemparkan diri ke atas sofa.

"Pada kenapa, Tante?" tanya Davina pada Mariana.

"Enggak tahu. Tiba-tiba aja mereka lesu begitu. Padahal tadi rencananya kita mau beli eskrim dulu," Ibu Haris menjawab penuh kebingungan.

"Ganti baju dulu yuk, habis itu makan siang," kata Davina pada keponakannya.

Tanpa menunggu lama, Dini dan Dewa naik ke lantai dua, menuruti perintah Davina untuk berganti baju.

"Gimana toko online Kamu? Udah banyak yang beli?" Mariana bertanya pada Davina.

"Alhamdulillah. Bisalah buat beli siomay." Davina terkekeh, begitu juga wanita yang sedang berbincang dengannya.

Rasanya seperti mimpi, ternyata bisa juga Davina bergaul dengan Mariana dengan begitu baik. Padahal dulu, mereka saling membenci. Entah sejak kapan hubungan mereka sebaik itu, sepertinya, sejak Davina memutuskan untuk berhenti mengejar Haris.

"Tante mau lihat Bunda kamu dulu ya."

"Silahkan, Tante."

Davina menatap punggung Mariana yang bergerak naik karena sedang berjalan di tangga. Ia tersenyum, bahagia.

Ternyata, merasa bahagia tidak sesulit itu, begitu banyak hal sederhana bisa membuat bahagia, berbincang ringan dengan orang-orang yang kita sayangi adalah salah satunya. Entah kenapa dulu ia begitu degil, mengejar-ngejar cinta Haris karena berharap kebahagiaan dari pria itu.

Padahal, justru setelah melepaskannnya, hidup Davina terasa lebih baik, dan, dia bahagia.

***

"Loh, Mas, kok masih pakai baju yang kemarin?" tanya Danila.

Pagi itu ia mendapati Haris masih menggunakan pakaian yang ia gunakan saat mengantar anak-anak di hari sebelumnya. Laki-laki itu datang menjemput jam delapan pagi, mereka berdua akan pergi ke sekolah sesuai janji yang sudah dibuat.

"Iya nih, aku gak bawa baju kemarin?" jawab Haris.

"Mas menginap di puskesmas?"

"Iya, hehe."

"Ya, Allah, Mas. Kenapa sih maksain banget? Kalau tahu kayak gini mendingan aku pergi sendiri deh." Danila terdengar khawatir.

"Hehe, enggak apa-apa kok." Haris menggaruk pelipisnya, dia memang terlihat canggung, tapi hatinya berbunga-bunga, karena Danila begitu mengkhawatirnya.

"Kita cancel aja ya, Mas."

"Eh, jangan dong. Gak enak sama gurunya Dewa."

Enak saja! Haris tidak mungkin membiarkan kesempatan berduaan dengan Danila lepas begitu saja.

Danila sungguh merasa kasihan pada mantan suaminya itu. Entah bagaimana ia tidur di ruang kerjanya. Dan juga, pasti sangat melelahkan perjalanan bolak-balik dengan jarak tempuh yang cukup jauh setiap hari.

Wanita itu jadi merasakan sesal, andai ia tidak menyetujui pertemuan guru-orang tua ini di hari Sabtu, seharusnya hari ini menjadi hari istirahat untuk Haris.

Dia menghela nafas dalam setelah berpikir hampir lima menit, "Ya, udah. Tapi, Mas, udah sarapan?"

"Sudah."

"Sudah pamit sama anak-anak?" Danila bertanya sambil memasuki mobil Haris.

"Sudah, tadi waktu kamu lagi di kamar Bunda Siska."

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Haris mengemudikan mobilnya, keluar dari komplek perumahan menuju jalan raya. Mereka akan menempuh perjalanan sekitar tiga pulu menit. Laki-laki itu berharap, situasi jalan tidak terlalu lancar, atau macet saja sekalian. Sehingga, dia bisa lebih banyak lagi mendengar suara Danila yang menyiratkan begitu banyak perhatian.

"Kok, senyum-senyum gitu, Mas? Lagi seneng ya?"

Ternyata sejak tadi, senyum melekat di bibir Haris tanpa ia sadari. Dan, Ya! Dia memang sedang bahagia.

"Iya, hehe. Lagi kepikiran Dini."

"Ooh."

Mendengar nama anak perempuannya disebut, Danila jadi cemas. Sudah beberapa hari ini gadis kecil itu terlihat murung, entah apa yang terjadi di sekolah. Dia sudah bertanya pada Dewa, tapi dia tidak mau menceritakan alasannya.

"Aku tahu kenapa. Tapi gak mau kasih tahu Ibu," katanya waktu itu.

Ah! Rasanya Danila ingin menangis, jika kedua anaknya sudah memegang rahasia, sulit sekali untuk mencuri tahu.

"Kok kamu nangis?"

Suara Haris mengagetkannya, segera saja Danila menghapus air mata yang jatuh tanpa ia sadari.

"Kenapa, Nila?"

Sungguh, suara itu begitu lembut, membuat Danila lebih ingin menangis lagi.

"Loh, kok?!"

Haris menghentikan mobilnya, dia semakin bingung saat air mata Danila justru semakin deras, wanita itu tak kunjung menjawab pertanyaannya. Akhirnya dia memilih diam, tidak ingin memaksa, biar saja jika Danila butuh waktu untuk menangis, dia akan menemaninya.

"Kok, Mas nangis?" tanya Danila setelah beberapa waktu.

"Ya, karena kamu nangis," jawab Haris.

"Hehe, memangnya Mas tahu, aku nangis karena apa?" Danila terkekeh, dia jadi gemas.

"Enggak. Tapi kayaknya soal anak-anak, soalnya kamu nangis setelah aku sebut nama 'Dini'." Haris mengusap air matanya.

Danila merasa terharu, dia sama sekali tidak menyangka mantan suaminya itu begitu perasa dan penuh pengertian, dia bahkan ikut menangis meski tidak tahu alasannya.

"Memangnya ada masalah sama anak-anak?" tanya Haris.

"Iya." Danila menjawab dengan suara serak. "Sebenarnya bukan masalah. Mereka punya rahasia, Dini murung sejak beberapa hari ini. Tapi mereka berdua merahasiakan alasannya."

"Nanti, biar aku yang tanya," kata Haris.

"Bisa?" Danila sedikit ragu.

"Pasti bisa." Haris tersenyum, dia cukup merasa optimis.

"Ya udah, Mas. Ayo kita jalan lagi." Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan.

***

"Selamat pagi, Bapak dan Ibu."

Seorang laki-laki menyambut kedatangan Danila dan Haris di ruangan yang dikhususkan untuk Bimbingan dan Konseling itu.

"Perkenalkan nama saya, Andiyana. Anak-anak biasa memanggil saya Pak Andi."

Secara bergantian laki-laki yang baru memperkenalkan dirinya itu menyalami dua orang yang baru saja datang.

Entah kenapa, Haris merasa sangat kesal melihat Andi begitu ramah menyapa Danila. Itu terlihat jelas di raut wajahnya.

"Bu Nadianya mana Pak?" tanya Danila.

"Oh, Bu Nadia sebentar lagi datang. Tadi sih sudah di sini, tapi harus ada yang dilakukan di rumahnya, hanya sebentar. Saya sudah kirim pesan ke beliau, katanya hanya beberapa menit lagi."

"Bapak ini wali kelasnya Dewa dan Dini?" Haris bertanya.

Danila merasa aneh dengan nada bertanya yang tak ramah itu, dia menatap Haris. Benar, wajahnya terlihat masam.

"Bukan, Pak. Saya guru BK, yang jadi wali kelasnya Dini dan Dewa kan bu Nadia."

Tentu saja Andi merasakan ketidakramahan Haris, tapi ia memilih untuk tidak terpancing. Guru sekolah dasar itu sudah terbiasa menghadapi berbagai macam rupa perilaku murid dan juga sekaligus orang tuanya.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang