Bab 13

1.8K 156 2
                                    

"Mas gimana sih? Kok Vina malah ditinggal?"

Danila mengomel kepada mantan suaminya, laki-laki itu lupa kalau mereka datang ke Rutan bersama Davina. Yang dibawa pulang hanya dirinya.

"Ya, maaf kalo aku jadi lupa. Soalnya kamu histeris. Aku cuma mikirin gimana caranya bawa kamu keluar dari sana."

Mendengar perkataan Haris, dia jadi malu sendiri. Benar, ini juga salahnya. Kalau diingat lagi, Danila juga heran, kok bisa sampai segitunya ya dia menangis?

Entah bagaimana perasaan Davina melihatnya mengutuk-ngutuk Priambodo sedemikian rupa, bagaimanapun, laki-laki itu ayah kandungnya. Dia pasti merasa sangat sedih. Sesal menyergap Danila, juga rasa khawatir.

"Biar aku balik lagi ke Rutan. Mudah-mudahan dia masih ada di sana." Haris mengambil kunci mobil, hendak menjemput Davina di tempat ia meninggalkannya.

Ceklek!

Pintu depan rumah dibuka oleh seseorang.

***

"Aku antar pulang aja, ya." Davina menggelengkan kepala.

Sudah berjam-jam dia berada di mobil Windu,  kendaraan roda empat itu diparkir di sebuah taman di pinggir jalan.

"Kamu lapar gak?" Lagi-lagi dijawab dengan  gelengan kepala.

Windu hampir merasa frustasi, wanita yang sedang bersamanya bersikap seperti patung. Dia tidak menangis, tidak bicara, bahkan tidak bergerak. Hanya menatap kosong ke arah jalan raya.

"Aku bingung, Vin. Gimana caranya bikin kamu ngomong. Aku tahu kamu lagi berduka, tapi harus tahu,  kamu gak sendiri. Aku ada di sini, nemenin kamu. Kamu mau aku melakukan apa-apa untuk menghibur kamu?"

Dengkuran halus  menjawab pertanyaan itu. Windu baru sadar, ternyata Davina tertidur. Jadi, sejak tadi bicara sendiri?!

[Kamu ada di mana? Kok gak ada di kantor?]

Ibunya mengirim sebuah pesan.

[Lagi sama teman.]

Tidak perlu memberi tahu beliau kalau dia sedang bersama Davina. Windu sedang tidak ingin dimarahi oleh siapapun sekarang.

Beberapa menit kemudian, mobilnya terlihat membelah jalan raya. dia memutuskan untuk membawa wanita yang sedang berduka itu kembali ke rumah keluarganya. Sepertinya, itu yang terbaik yang harus dilakukan.

***

"Kapan kita jalan-jalannya, Pa?"

"Nanti, kalau Papa sudah gak sibuk."

"Gak sibuk tuh kapan, Pa?"

"Berisik! Bisa diem gak sih kamu?!"

Bentakan itu membuatnya terperanjat. Ibu sontak menariknya ke pelukan yang hangat.

"Jangan diganggu dulu Papanya ya. Lagi sibuk."

"Tapi, Papa sudah janji mau ajak aku pergi jalan-jalan."

"Iya, Sayang. Sabar ya."

Beberapa hari kemudian mereka memang benar-benar pergi, tapi bukan ke tempat wisata, melainkan ke pemakaman. Pemilik pelukan hangat itu pergi, selamanya-lamanya.

Sebuah sentuhan di pipi membangunkan Davina. Membuatnya tersadar dari mimpi yang begitu menyakitkan.

"Kamu nangis saat tidur." Itu suara Windu. "Ayo turun! Keluarga kamu pasti khawatir," katanya lagi.

Windu membukakan pintu mobil untuk Davina. Wanita itu mendongak dengan pandangan bingung. Apakah ini benar? Apakah ia boleh kembali ke rumah itu? Setelah ayahnya pergi, dan setelah semua yang pria itu lakukan.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang