Bab 6

1.9K 166 0
                                    

Tring!

Sebuah pesan masuk di telepon seluler Davina, kening wanita itu mengerut melihat nama kontak pengirimnya. Untuk apa dia mengirim pesan lagi?

Tring!

Lagi-lagi dari orang yang sama. Davina menghela nafas, jujur saja, dia malas membaca pesan-pesan tersebut. Tapi, entah kenapa akhirnya dia membukanya juga.

[Maaf mengganggu.]

[Saya butuh bicara sama kamu lagi. Bisa kita ketemuan?]

Davina mendecih, ingatan akan kejadian di restoran di mana dia dipermalukan menyapa lagi, dan itu membuatnya jengkel.

[Maaf, saya sibuk.]

Tring!

[Please! Saya butuh bantuan kamu lagi. Cuma kamu yang bisa bantu saya.]

Apa-apaan ini? Dia tidak punya kerjaan atau bagaimana sih?!

[Maaf, saya tidak bisa, silahkan minta bantuan orang lain saja.]

Ternyata balasan tersebut cukup efektif, tidak ada pesan masuk lagi.Sepuluh menit kemudian,

Tring!

Ada pesan lagi, Davina sudah ingin mengamuk, tapi kemudian emosinya reda setelah melihat siapa yang mengirim pesan.

[Vin, Tante lagi di supermarket, kebutuhan Bunda kamu ada yang habis gak?]

Itu pesan dari Mariana, ibu Haris. Wanita itu memang sering membantu memenuhi kebutuhan Bunda Siska. Seringkali Danila atau Davina menolak pemberian beliau, dengan halus tentunya, tapi rupanya beliau begitu gigih.

[Alhamdulillah, semua masih ada Tante.]

Teeeeeet!

Terdengar bunyi bel rumah. Davina berjalan ke arah pintu sambil bertanya-tanya siapa yang datang, sudah lama mereka tidak menerima tamu.

"Bapak?! Kenapa bisa ada di sini?!"

Dia terkejut melihat siapa yang ada di balik pintu. Itu Windu, orang yang setengah jam lalu membuatnya kesal dengan pesan-pesan yang sama sekali tak diharapkan.

"Hai! -Davina terlihat hendak menutup pintu- Eh! Tunggu, Vin!"

Windu menahan pintu sekuat tenaga saat benda itu akan ditutup kembali dengan terburu-buru oleh orang yang membukanya.

"Mau ngapain lagi sih, Pak?"

"Saya butuh bicara sama kamu. Saya butuh bantuan kamu."

"Ck!"

"Tolong, cuma kamu yang bisa bantuin saya." Windu menangkupkan kedua tangan di depan dada dan memasang ekspresi memelas.

"Ya udah! Ngomong sekarang!"

"Gak di dalam aja?" tanya Windu penuh harap.

"Di sini aja! Ngapain sih minta masuk segala?!"

"Tapi gak enak, masa ngobrol di pintu."

"Mau enggak? Kalau enggak mau ya udah, aku tutup lagi."

"Eh, iya! Mau, mau, gak apa-apa, di sini aja."

"Ya udah! Mau ngomong apa?!"

Davina benar-benar tidak bisa menahan lagi rasa kesal di hatinya, dia tidak peduli jika akhirnya harus bicara kasar pada orang yang dulu dihormati sebagai atasan.

"Mama sama Papaku, mereka mau ketemu kamu," kata Windu.

"Buat apa?"

"Gini, ehmmm. Gimana ya?" 

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang