Bab 3

2.2K 173 1
                                    

Sebuah mobil sport berwarna hitam terlihat memasuki gerbang sekolah dasar swasta. Seorang laki-laki muda keluar dari pintu pengemudi, lantas membukakan pintu mobil penumpang belakang. Dua orang anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan keluar dari pintu tersebut.

"Belajar yang rajin ya," kata Haris pada putrinya.

Dini meraih tangan ayahnya, melakukan 'salim' lalu mencium pipi kiri dan kanan laki-laki itu.

Selanjutnya Haris beralih pada anak laki-lakinya. Seperti biasa, Dewa bersikap tak peduli. Saudara kembar Dini itu berlalu begitu saja dari hadapan ayahnya.

Haris tersenyum, ia mengerti kalau lelaki kecil itu masih butuh waktu. Lagipula, ini sudah lebih baik. Sebelumnya, anak itu selalu memandang dengan tatapan benci dan menolak kehadirannya terang-terangan. Terima kasih kepada Danila yang entah bagaimana bisa membuat Dewa berubah.

"Dewaaaa!"

Beberapa anak perempuan memanggil-manggil Dewa sesaat setelah ia memasuki ruang kelas. Dini memandang jengah teman-temannya. Dia tidak mengerti mengapa mereka begitu mengidolakan saudara kembarnya yang menurutnya sangat menyebalkan.

Dewa memang menjadi idola bagi anak-anak perempuan, meskipun dia masih kelas dua. Pancaran kepribadiannya begitu khas. Dia tidak hanya tampan rupawan, tapi juga cerdas, terutama dalam pelajaran eksakta. Persis seperti Haris saat seusianya.

***

Kriiing!

Telepon selular Danila berbunyi saat ia sedang bekerja.

"Halo."

"Halo. Saya Nadia, dari sekolah dasar Pelita Bunda. Apakah benar saya sedang berbicara dengan ibu Danila, orang tua Dewa ?"

"Benar. Ada apa ya?"

"Begini Bu. Kami butuh berkomunikasi secara langsung dengan ibu dan suami."

"Komunikasi tentang apa?"

Danila tiba-tiba merasakan debar di dada. Dia mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya di sekolah.

"Bukan hal buruk, Bu. Alhamdulillah, hanya tentang kemungkinan program akselerasi untuk putra Ibu."

"Oh. Alhamdulillah. Kapan saya diharuskan datang?"

"Besok bisa Bu. Atau kapan saja jika Ibu punya waktu. Bisa juga di hari Sabtu."

"Kemungkinan saya bisa di hari Sabtu, karena harus bekerja, begitu juga dengan Haris, ayahnya Dewa."

"Baiklah, mari kita jadwalkan pertemua hari Sabtu pekan ini, saya tunggu di ruang guru pukul 09.00 pagi bisa Bu?"

"Bisa."

"Baik, terima kasih."

"Ya, sama-sama Bu Nadia, saya juga berterima kasih."

Setelah sambungan telepon dari wali kelas anak-anaknya tertutup, Danila menelepon Haris.

"Halo ..."

Nada suaranya terdengar ragu dan Danila merasa canggung, ini adalah pertama kalinya ia menelepon laki-laki itu.

"Halo." Suara Haris terdengar di ujung telepon.

"Ini aku. Danila."

"Iya, aku tahu."

"Kamu tahu?"

"Iya, aku tahu. Dapat nomor kamu dari Mama."

Haris maklum jika Danila terkejut karena ia tahu nomor teleponnya. Ia yakin wanita itu akan lebih terkejut lagi saat melihat bagaimana ia dinamai dalam daftar kontak teleponnya.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang