Bab 12

1.8K 151 1
                                    

Entah apa yang harus dirasakan Danila. Senang? Atau sedih? Yang jelas, dia kecewa.

Dia sedang berdiri di depan sebuah jasad yang terbujur kaku. Jasad orang yang paling ia benci. Orang itu membuatnya kehilangan ayah dan ibunya sejak belia.

Ingin rasanya berteriak. Bukankah ini tidak adil? Dia mati sebelum menerima semua hukumannya. Kenapa? Kenapa?!

Satu jam sebelumnya, telepon berdering di kediaman Bunda Siska, sekitar pukul sepuluh pagi. Penelepon adalah seorang pejabat di lembaga pemasyarakatan tempat Priambodo ditahan. Dia menyampaikan sebuah kabar, yang entah itu baik atau buruk bagi para penghuni rumah. Priambodo, laki-laki yang pernah mengepalai rumah itu meninggal dunia di dalam penjara.

Danila dan Davina bergegas mendatangi tempat itu. Menjemput jasad yang sudah terbungkus kain kafan. Bunda Siska tidak diajak, beliau jatuh pingsan saat mendengar berita itu.

"Apakah jasad akan dibawa ke rumah atau langsung ke pemakaman?" tanya seorang sipir.

Kedua orang wanita yang diketahui kerabat sang jenazah tidak ada yang menjawab. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Bagaimana, Bu?"

Kali ini sipir bertanya langsung pada Danila. Tapi tetap tidak ada jawaban.

"Nila, kamu ditanya. Mau dibawa pulang atau ke makam langsung?" Haris yang memberikan mereka tumpangan ke tempat itu, mencoba menyadarkan Danila dari lamunannya sendiri. "Nila!" Laki-laki itu memanggil lebih keras.

"Enggak tahu!" Tiba-tiba Danila berteriak. "Aku gak tahu harus apa?! Harus gimana?!" Dia kalut. "Harusnya dia gak mati sekarang kan?! Harusnya dia diadili dulu, iya kan?! Ini gak adil!" Danila menangis histeris. "Kenapa dia mati?! Kenapa dia mati?!" Raungan dan tangisan menggema di ruang tunggu lembaga pemasyarakan itu.

Haris mencoba menenangkan Danila. Wanita itu terus menangis tak terhentikan,  ia bahkan sampai ambruk, kehilangan tenaganya karena kelelahan.

"Bawa aja langsung ke makam, Pak." Haris menjawab pertanyaan yang sejak tadi dimintakan jawabannya.

"Baik."

"Jangan pergi! Jangan bawa dia! Dia harus diadili dulu!" Danila bangkit dan menahan para petugas saat hendak mengangkat keranda berisi jasad Priambodo. Haris sontak memegangi tangannya, agar wanita itu tidak menghalangi tugas mereka.

Bagaimana dengan Davina? Entahlah. Dia tidak menangis, juga tidak mengatakan apapun. Sepertinya, dia kehilangan pita suara, atau kehilangan hati dan jiwa?

Laki-laki itu, orang yang dia panggil 'Papa', seumur hidupnya tidak pernah menyayanginya. Davina mau melakukan apapun agar dia bisa menerimanya sebagai putri yang disayangi. Tapi, sampai dia pergi, hanya caci maki yang selalu keluar dari mulutnya.

"Hiduplah dengan Papamu, Sayang. Terima apapun yang ia berikan padamu. Hanya dia satu-satunya yang kamu miliki." Begitu ibu kandungnya bicara sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Dan sesuai dengan keinginan sang ibu, Davina menerima semuanya. Meski begitu menyiksa dan menyakitkan.

Dia memandang jasad ayahnya dengan tatapan kosong. Saat keranda bergerak karena dibawa  petugas menuju pemakaman, kakinya tak kunjung bisa digerakkan, ia hanya menatap mereka yang pergi semakin jauh, tubuhnya kaku,  hanya diam di tempat pertama kali dia datang. Mungkin, sebaiknya memang dia memaku dirinya sendiri di tempat ini.

Raungan dan tangisan histeris Danila tidak ia hiraukan. Hatinya kebas, perasaannya kosong.

***

Danila terus menerus mencoba mengejar jenazah Priambodo, bahkan ketika telah dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Sekuat tenaga Haris menyeret wanita yang masih menangis histeris itu ke dalam mobilnya.

Dia bernafas terengah-engah setelah berhasil memasukkan Danila dan menutup pintu kendaraan roda empat tersebut. Baru kali ini melihatnya seperti ini. Biasanya mantan istrinya itu begitu tenang. Bahkan ketika seharusnya dia marah.

Haris menatap dari kaca, dia masih menangis, tapi sudah lebih tenang. Syukurlah.

Beberapa menit kemudian mobilnya terlihat berjalan keluar dari area parkir pengunjung rumah tanahan.

Ada yang dia lupakan, Davina masih tertinggal di dalam gedung.

***

Ya, Davina masih berdiri di sana. Padangannya masih saja kosong.

"Permisi."

Seseorang mendorongnya dari belakang, memaksa kakinya untuk melangkah. Lalu, ia melanjutkan langkah itu, entah ke mana.

Berjalan tak tentu arah, hanya mengikuti kehendak kakinya sendiri. Dia tak peduli.

Tanpa sadar, ia telah berada di sebuah jalan raya kini, tapi di jalur yang salah. Sebuah truk berjalan tepat ke arahnya.

"Awass!" Seseorang menarik tangannya, klakson mobil berbunyi nyaring di berbagai titik.

"Vina! Kamu gak apa-apa?" tanya seseorang.

"Maaf, Pak. Saya temannya. Terima kasih sudah menolong teman saya," kata seseorang itu kepada yang orang menyelamatkannya.

***

Sejak pagi Windu memiliki perasaan yang tidak enak, seperti sebuah firasat. Dia terus menerus teringat akan Davina.

Laki-laki itu terus menimbang-nimbang, apakah harus menelepon? Atau cukup mengirim pesan? Hanya untuk memastikan kalau dia baik-baik saja.

Tapi kemudian, dia tidak menelepon, tidak juga mengirim pesan. Windu mendatangi rumah Davina langsung.

Teeet!

Dia menekan bel rumah wanita yang dicintainya.

Sebuah wajah sembab menyambut kedatangan Windu. Dia Tante Mariana, wanita yang pernah ditemuinya saat makan siang bersama Davina dan juga orang tuanya.

"Ayahnya kandungnya meninggal," itu yang terakhir dia dengar sebelum akhirnya berlari ke mobil, dan membawa kendaraan roda empat itu ke tempat di mana kekasih hatinya berada, dan mungkin, sedang berduka.

Windu memacu secepat yang ia bisa. Ingin  menemui Davina sesegera mungkin.

Tiba-tiba,

"Awass!"

Suara decitan mobil dan juga klakson terdengar di banyak titik di jalan yang ia lalui.

Seorang laki-laki menyelamatkan seorang wanita yang hampir tertabrak truk secara dramatis.

Tunggu! Wanita itu. Davina.

"Kalau jalan lihat-lihat dong!"

Sang penyelamat memarahi Davina dengan suara keras. Begitu juga dengan beberapa orang yang kebetulan ada di sana.

Davina tak menghiraukan orang-orang yang sedang memarahinya karena bersikap ceroboh di jalan raya. Dia tampak kebingungan.

Windu keluar dari mobil dan berlari menghampirinya.

"Vina! Kamu gak apa-apa?!"

"Maaf, Pak. Saya temannya. Terima kasih sudah menolong teman saya," katanya kepada orang menyelamatkan Davina.

"Ayo, Vin. Ikut aku." Tak ada sahutan.

Orang-orang yang sebelumnya berkerumun pergi satu persatu. Windu menarik tangan Davina dan menyeret wanita itu masuk ke dalam mobilnya. Terpaksa, kata-katanya hanya bertemu angin sejak tadi.

***

Beberapa menit setelah duduk di mobil Windu, Davina masih tetap membisu. Dia hanya menatap jalan raya dari balik jendela kaca.

"Kalau sedih, kamu harus menangis, Vina. Jangan ditahan!" kata Windu.

Lagi-lagi hanya diam.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang