Bab 8

1.8K 161 0
                                    


Semua mata memandang Davina, membuatnya merasa terpojok. Entah apa yang selanjutnya akan dikatakan Mariana. Apakah sesuatu yang baik? Bagaimana jika wanita itu mengatakan semua keburukan yang pernah ia lakukan? Rasa takut memenuhi ruang hatinya.

"Saya permisi ke kamar mandi."

Dia terburu-buru meninggalkan orang-orang itu, tidak sanggup mendengar apapun lagi.

"Silahkan duduk, Om dan Tante. Kebetulan kami baru saja mau mulai makan."

Windu memanggil pelayan restoran, memesan menu yang sama seperti yang ia pesan sebelumnya untuk Mariana dan Prasetya.

"Maaf, kalau kami jadi menganggu acara makan kalian, sebenarnya saya hanya mau menyapa Davina."

"Enggak apa-apa! Kan, Tante dan Om juga orang dekat pacar saya. Jadi, anggap saja ini bagian dari pertemuan keluarga."

Sepasang suami istri paruh baya itu berkenalan dengan orang tua Windu. Percakapan mereka berjalan cukup hangat. Yusnia dan suaminya tampak lebih ramah kepada dua orang baru tersebut, berbeda dengan saat mereka menghadapi Davina.

"Maaf, Om, Tante, saya mau ke toilet dulu."

Windu merasa khawatir dengan keadaan pacar bohongannya. Dia menyusul Davina ke kamar mandi. Tapi, saat sampai di lorong menuju toilet langkahnya berhenti, orang yang dicarinya sedang duduk di sebuah bangku.

Isak tangis terdengar begitu pilu. Siapapun yang mendengarnya pasti akan hanyut dalam lautan duka.

Lagi-lagi sesal datang. Ini yang kedua kali, Windu membuat wanita itu tersakiti.

"Maaf."

Sebuah suara menghentikan tangisan Davina, dia menoleh ke sisi dari mana suara itu datang. Windu sedang berdiri tak jauh darinya dan mungkin, dia telah melihatnya menangis sejak tadi.

"Maaf, aku gak bisa lagi, aku mau pulang," katanya dengan masih terisak.

"Oke. Gak apa-apa."

Davina berjalan keluar dari restoran itu melalui pintu belakang. Dia ingin melarikan diri, tidak peduli jika orang tua Windu akan melihatnya semakin buruk karena pergi begitu saja.

"Aku antar ya," kata Windu saat Davina sudah di ambang pintu.

"Gak usah, aku naik taksi aja."

***

Begitu banyak kertas dan buku berserakan di ruang tamu rumah orang tua Haris malam itu. Mama Mariana sedang membuka kembali dokumen, buku dan juga foto-foto lama anak semata wayangnya.  Mereka merasa perlu melihat kembali semua itu sebagai bagian dari proses pertimbangan atas program akselerasi yang akan diikuti Dewa.

"Dia memang mirip banget sama kamu."

Sebuah foto masa kecil Haris diperlihatkan, di dalam kertas berukuran postcard tersebut tersaji gambar dirinya sedang membaca buku sambil menumpu dagu dengan telapak tangan. Dia memang terlihat sangat mirip dengan Dewa, anak laki-lakinya.

"Nih."

Mariana menyodorkan sebuah kotak berwarna ungu berlapis kain beludru.

"Ini apa?" tanya Haris.

"Cincin kawin Mama sama Papa."

Kotak itu berganti tangan, si penerima menatap penuh tanya.

"Udah saatnya kamu kembali sama Danila," kata Mariana.

"Memang rencananya begitu Ma."

"Serius kamu?" Ada yang terlonjak gembira.

"Iya!" Haris menjawab penuh keyakinan.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang