Bab 7

1.8K 177 0
                                    


Tok! Tok! Tok!

"Ini Ayah!"

Dini terlonjak gembira mendengar suara yang sangat dikenalnya. Gadis kecil itu sontak meninggalkan mainan yang sedang dia pegang dan berlari untuk membuka pintu.

Kriet.

"Ayaaaah!"

Dia berteriak girang, lalu melompat ke dalam pelukan Haris.

"Lagi pada ngapain?"

"Dini lagi main, Dewa lagi baca buku. Sini masuk, Yah!"

Putri kesayangan itu menarik tangan sang ayah dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Di ujung ruangan Haris melihat anak laki-lakinya, sedang duduk di depan sebuah buku yang terbuka.

"Dewa lagi baca buku?"

Tidak ada jawaban, wajah saudara kembar Dini itu merengut seolah mengatakan, "Sudah tau kok nanya?!"

Haris terkekeh memikirkan kemungkinan apa yang dipikirkan Dewa. Dia juga melihat buku yang sedang dibaca putranya, sebuah ensiklopedi, persis sepertinya saat masih sekolah dasar.

Lelaki kecil itu begitu mirip dengan Haris, baik secara fisik maupun kepribadian, tapi mengapa begitu sulit meraih hatinya?

"Ayah, ini buku sketsa yang tadi. Dini sudah lukis di sini, banyaaak."

Benar, buku sketsa itu hampir penuh, padahal belum setengah hari. Dini memang begitu hobi melukis, sepertinya punya bakat di bidang seni. Berdasarkan cerita Danila, gadis kecilnya itu memang tidak terlalu bagus dalam pelajaran eksakta, tapi sangat suka melukis dan bercerita. Berbanding terbalik dengan Dewa.

Tapi jangan salah, bagaimanapun keadaan anak-anak menggemaskan itu, Haris tetap amat menyanyangi keduanya. Baik Dini yang selalu menyambutnya dengan ceria, maupun Dewa yang selalu bersikap tidak peduli karena belum bisa menerima dirinya.

"Ayah."

"Ya, Sayang?"

Haris yang saat itu masih membolak-balik buku sketsa mengalihkan perhatian pada Dini yang memanggilnya tiba-tiba. Gadis kecilnya itu terlihat sangat gugup

"Ada apa?" tanyanya sambil mengelus rambut halus sang putri.

Dini menatap saudara kembarnya, meminta persetujuan atas apa yang akan dia katakan. Dewa mengangguk pelan, lalu kembali menekuri bukunya. Meski begitu, ia memasang telinga, agar bisa mendengarkan pembicaran ayah dan saudarinya.

"Apa Ayah enggak cinta sama Ibu?"

"Hah? Apa?!"

Haris terkejut dengan pertanyaan itu.

"Kenapa dulu Ayah bercerai sama Ibu? Karena Ayah gak cinta sama Ibu aku?"

Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. Haris meneguk salivanya beberapa kali. Dia pernah merasakan sidang yang menegangkan, ternyata ini lebih dari itu. Apa yang harus dia katakan?

"Gak bisa ya, kalau Ayah dan Ibu menikah lagi?"

Dini menatap Haris penuh harap, begitu juga Dewa. Sepasang anak kembar itu menunggu jawaban sang ayah.

"Lagi pada ngapain?" Suara Danila mengalihkan perhatian ketiganya.

Dewa dan Dini terdiam seketika, inilah yang selalu mereka sembunyikan dari sang Ibu. Keinginan untuk memiliki keluarga yang utuh, hidup dalam satu rumah, saling menyapa dan memeluk kapanpun mereka mau.

Jika pertanyaan-pertanyaan tadi diajukan kepada Danila, mereka tahu, itu akan menjadi beban dan kesedihan.

"Makan siang dulu, yuk!" Rupanya dia datang untuk memberitahu anak-anaknya bahwa makan siang sudah disajikan dan siap disantap.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang