Bab 9

1.8K 162 0
                                    


"Aku cinta sama kamu," kata Windu.

Prang!

Suara piring pecah menyadarkan Windu dan Davina bahwa mereka tidak sendiri.

"Aduuuh! Maaf ya."

Danila menunduk-nunduk sambil meminta maaf, dia merutuki dirinya sendiri. Nampan berisi dua buah cangkir teh hangat yang dibawanya meluncur begitu saja karena kaget mendengar pengakuan cinta untuk sepupunya.

"Sekali lagi maaf, nanti aku bikini yang baru," katanya lagi.

"Gak usah Nila, dia sudah mau pulang.--Davina berbalik menatap Windu-- Aku minta kamu pulang sekarang. Jangan datang lagi!" Wanita itu naik ke kamarnya, meninggalkan Windu tanpa mengatakan apapun.

"Maaf ya, Mas." Danila benar-benar merasa tidak enak.

"Gak apa-apa. Saya yang salah," kata Windu. Laki-laki itu terlihat begitu payah.

"Saya ambilin minum lagi ya."

"Gak usah Mbak, saya mau pulang aja."

Windu berjalan gontai menuju pintu. Dia akan pergi sesuai keinginan Davina. Ternyata seperti ini rasanya patah hati, sakit.

"Ada apa sebenarnya?" Pertanyaan itu menghentikan langkahnya.

"Mungkin saya bisa bantu. Saya akan bicara sama Vina. Apa masalahnya sebenarnya?"

Mengalirlah cerita mengenai makan siang yang teramat disesali beberapa hari lalu itu.

"Saya yang salah. Harusnya gak bawa Vina ketemu orang tua saya secepat itu. Dia pasti sakit hati banget."

Ya, tentu. Bukan hanya Davina, Danila juga merasakannya setelah mendengar cerita itu. Mengetahui anggota keluargamu diperlakukan begitu kasar, siapa yang tidak sakit hati?

***

POV Davina

Selamanya, aku tidak akan bertemu dengannya lagi.

Cinta katanya? Berani sekali dia mengatakan itu? Apa dia lupa bagaimana sikap orang tuanya padaku?

Kenapa dia harus mengatakan itu? Seharusnya dia menutup mulutnya saja. Maka aku tidak akan pernah berharap, dan merasakan sakit karena harapanku sendiri.

Meski dia mencintaiku dan sialnya aku juga mencintainya, kami tidak mungkin bisa bersama. Terlalu banyak hal yang akan menghalangi kisah kami. Ibunya benar, aku bukan orang yang layak menjadi pendamping hidupnya.

POV Author

Suara tangis terdengar begitu pilu saat Danila hendak melihat keadaan sepupunya di kamar. Tangannya menyentuh handle pintu, tapi kemudian berhenti menekan benda itu. Dia memutuskan untuk memberi Davina waktu.

***

Sebuah sentuhan lembut hinggap di pipinya. "Kenapa?"

Bunda Siska melihat Davina yang sedang menggunting kuku kakinya berwajah murung, matanya juga sembab.

"Enggak apa-apa, Bunda."

"Beneran?"

"Beneran." Sebuah senyum hadir begitu dipaksakan.

Sentuhan itu beralih ke punggungnya, begitu lembut dan menenangkan. Mereka memang bukan ibu dan anak kandung, mereka juga punya cerita masa lalu yang menyakitkan. Tapi, takdir sepertinya ingin mereka selalu ada untuk satu sama lain. Baik Davina maupun Bunda Siska tidak menyangka hidup akan membawa mereka pada situasi ini.

"Yang sabar ya, kamu pasti kuat. Kamu akan baik-baik aja. Kamu akan menemukan bahagia, Anakku."

Lalu tangis yang sekuat tenaga ditahan itu tumpah juga.

Panggil Aku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang