Pesta Pernikahan.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Davina binti Priambodo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana? Sah?" Penghulu bertanya kepada para hadirin.
"Saaah!"
"Alhamdulillaahirabbil'alaamiin."
Yusnia menatap haru serta bangga kepada putranya yang baru saja mengucapkan qabul. Akhirnya, dia punya menantu.
Meskipun, semua proses terjadi begitu cepat, ia tetap mensyukurinya dan berjanji tidak akan menyesali apapun.
Masih lekat di dalam ingatan kejadian sebulan lalu, saat mereka datang ke rumah orang tua Davina untuk melamar dia yang sedang duduk di kursi mempelai wanita di samping Windu. Saat itu, mereka sama-sama tidak yakin, apakah lamaran akan diterima.
Kilas balik.
Teeet!
Suara bel berbunyi.
Davina terperanjat saat membuka pintu, Windu dan Yusnia sedang berdiri di sana, dia pikir mereka sudah pergi. Tapi ternyata kembali lagi.
"Vina, maafin Tante."
Tiba-tiba saja ibu Windu itu berlutut di hadapannya dan memegang lengannya.
"Tante, kok berlutut begitu? Ayo bangun, Tante ...." Davina panik. Seharusnya, tidak perlu seperti itu, apalagi usia beliau jauh lebih tua.
"Tante minta maaf, soal kejadian waktu makan siang itu."
"Iya, Vina sudah maafin kok, ayo bangun, Tante."
"Serius kamu maafin?"
"Iya, sebenarnya gak minta maaf juga gak apa-apa ...." Sebuah senyum terbit di wajah Davina.
"Kalau gitu, kamu mau ya nikah sama anak Tante, ya?!"
Davina menatap Windu yang sedang berdiri di belakang ibunya, wajahnya sendu.
"Tapi ...."
"Kamu gak usah khawatir. Semua biaya tante sama om yang bayarin. Kamu tinggal duduk aja di pelaminan. Nanti dikasih hadiah bulan madu lagi. Mau ya?!" Terdengar hampir seperti rengekan.
"Bukan soal itu. Saya ... saya ...." Bagaimana harus mengatakannya?
Kilas balik selesai.
POV Davina.
Ini seperti mimpi. Aku bersanding di pelaminan dengannya. Keluarga dan teman-temannya bergantian menyalami kami sejak tadi.
Aku bahagia? Ya, tentu saja. Aku mencintainya. Tapi, entah kenapa hatiku masih ragu. Benarkah semua ini?
Tatapan tamu-tamu begitu sinis kepadaku, tidak semua memang, tapi ada, beberapa. Tentu karena mereka tahu siapa aku dan latar belakang keluargaku.
Tidak, aku tidak malu tentang siapa diriku. Aku hanya takut, menjadi beban untuk Windu, suamiku dan juga keluarganya. Mereka pantas mendapatkan istri dan menantu yang lebih baik dariku.
Memikirkan tentang hal itu, membuat air mataku menetes. Seandainya, ada yang bisa memberiku jalan keluar dari pikiran yang begitu rumit ini.
"Kok nangis sih?" Itu suamiku. Suara lembutnya terdengar, tangannya yang halus mengusap pipiku.
"Kamu nangis bahagia atau sedih?" tanyanya, dia tersenyum, itu menambah ketampanannya.
"Aku punya kejutan buat kamu."
"Apa?"
"Lihat sebentar lagi." Dia tersenyum, lagi.
Laki-laki itu mengambil alih microphone yang sejak tadi digunakan MC pernikahan. Dia juga memegang sebuah gitar. Apakah ia akan bernyanyi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku Ayah
RomansaIni adalah sekuel dari Mengapa Dia Ayahku? Kehidupan Haris, Danila, dan kedua anak mereka juga Davina setelah semua yang disembunyikan selama bertahun-tahun terbongkar.