CHAPTER 37

231 12 1
                                    

Dulu aku pernah berpikir untuk tidak akan menolak kehendak Tuhan. Aku yakin, apa yang Tuhan persiapkan memanglah yang terbaik untuk hidupku. Namun aku tidak pernah menyangka, bahwa kepergianmu menjadi salah satu rencana yang Tuhan persiapkan untukku.

— Rajani Amaleeyah

Jani yang baru saja tiba di kelas di pagi hari pukul 06.08 itu langsung mengembuskan napas panjang begitu ia tahu bahwa hari ini untuk yang kelima kalinya ia tidak mendapat kiriman bunga lagi. Seharusnya ia merasa senang karena tidak perlu repot-repot lagi memikirkan siapa pengirim atau maksud dari teror bunga akasia tersebut. Tapi apa yang ia rasakan sangat berkebalikan dengan ekspektasinya. Ia justru sedih, hatinya terasa begitu remuk seolah ada yang menghantamkan palu di sana.

Bahkan rasa sedih itu pun tak kunjung hilang sejak malam itu ...

Pikirannya masi terus mengawang selagi kakinya melangkah menuju tempat duduknya. Sampai detik ini tanda tanya itu masih menggantung besar di kepala. Mengapa malam itu Genta datang dan menangis kepadanya? Mengapa juga ia ikut bersedih?

"Ahh." Jani mendesis pelan, kepalanya berdenyut nyeri. Tanpa sadar ia membanting pelan tasnya ke atas meja. Ia bingung. Ia bingung akan pikiran dan perasaanya sendiri.

Gadis itu lantas duduk dan melemparkan jauh pandangannya ke depan, kembali bergulat dengan pikiran. Selama berteman dengan Genta, tidak pernah ia melihat laki-laki itu menangis hebat seperti yang ia lakukan malam itu. Tangisan tersebut terdengar begitu pilu, seolah melambangkan ucapan perpisahan pada seseorang. Perpisahan tanpa ada pertemuan kembali.

Jani menautkan alisnya. Setahu dia, Genta tidak sedang memiliki hubungan dengan seseorang. Jani tahu karena laki-laki itu pernah berterus terang kepadanya. Jadi kemungkinan Genta menangis akibat ditinggal kekasih hati sangatlah kecil. Kekasih saja dia tidak punya.

Lalu, apa yang menyebabkan Genta menangis hebat seperti itu? Apakah orang tuanya?

Jani menggeleng, menyangkal pikirannya sendiri. Tidak mungkin, tidak mungkin karena orang tuanya. Jika benar karena orang tuanya, seharusnya keesokan paginya setelah malam itu Genta tidak bersekolah. Tentu ia akan sibuk melayani pelayat, bukan? Tapi pagi itu Jani melihat Genta di kelasnya, hanya duduk termenung entah memikirkan apa.

Bukan ... bukan orang tuanya. Teman?

"Hah, temen? Siapa anjir!" gumam Jani dengan kepala yang masih terasa pening. Jikalau memang teman, pastilah teman dekat Genta. Tetapi teman dekat Genta hanya Bara dan Disa. Lagi-lagi Jani bertarung dengan pikirannya.

Bara? Apakah Bara?

Jani mendesis pelan. "Gak mungkin Bara. Kalau emang Bara, harusnya udah dikabarin ke grup angkatan." Ia menepis jauh-jauh pikiran itu. Jangan sampai apa yang ia pikirkan menjadi kenyataan. Tidak. Ia tidak siap.

Namun nyatanya apa yang ia pikirkan sudah terjadi.

Untuk sesaat gadis itu mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Mencoba untuk mengurai benang merah yang kusut di kepala. Tentang Genta yang menangis, tentang dirinya yang entah mengapa merasakan kehilangan.

Ah, iya .... Ia bahkan melupakan 1 fakta itu. 1 hal yang membuatnya begitu bingung.

Setelah malam itu, Genta langsung terang-terangan mendekatinya, seperti selalu mengirimkan pesan singkat pada Jani, selalu menelepon untuk memastikan kabar Janj, bahkan beberapa kali juga ia pernah menawarkan tumpangan untuk ke sekolah. Entah apa yang membuat Genta melakukan hal itu, yang jelas Jani begitu bingung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang