CHAPTER 34

2.2K 47 21
                                    

Aku akui, akulah manusia paling Jahat di bumi ini.

Albara Putra Pradipta

Rian menghentikan motornya tepat di bawah pohon rindang yang terletak tak jauh dari rumah Bara. Sengaja ia pilih di sana karena tak ingin keberadaanya diketahui oleh sang pemilik rumah. Kemudian ia lepas helm full face-nya, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa pelan rambut hitamnya.

Niat laki-laki itu untuk saat ini hanya satu, mengintai pergerakan di rumah tersebut. Apakah benar yang dikatakan Jani?

Jika Bara memang tidak masuk sekolah selama dua minggu, ada kemungkinan bahwa laki-laki itu pindah. Tapi Rian masih ragu, pasalnya di garasi rumah tersebut masih terparkir sebuah mobil. Bisa jadi mobil itu milik keluarga Bara.

Maka dari itu di sinilah Rian berada. Berbekal informasi dari Jani mengenai alamat rumah Bara, selepas pulang sekolah tadi ia langsung memacu motor hitamnya ke sini untuk sekadar memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Rian menggosok kepalanya. Panas. Ternyata meskipun sudah berteduh di bawah pohon, tetapi sinar matahari masih mampu menembus rimbunnya daun hingga menyengat kepalanya. Menghela napas panjang, sekali lagi ia lemparkan pandangannya ke arah rumah dengan gaya minimalis itu.

Sudah hampir 10 menit, tetapi sepertinya tidak ada pergerakan dari dalam sana. Bahkan ia pun tak mendengar sayup-sayup suara seseorang dari dalam rumah itu. Apakah memang sedang tidak ada orang di sana?

Mungkin benar kata Jani, rumah itu kosong. Tapi ia tidak boleh menyerah. Besok di jam yang berbeda, ia akan kemari. Tentu saja mengintai seperti tadi.

Rian kemudian mengenakam helmnya kembali dan menghidupkan mesin motornya. Ia hendak memutar arah motornya, hingga tiba-tiba matanya menangkap sosok wanita paruh baya yang merupakan tetangga Bara keluar dari dalam rumahnya.

Ini sebuah kesempatan besar. Bisa jadi wanita tersebut menyimpan informasi yang berharga bagi Rian. Maka dari itu sebelum wanita tersebut kembali masuk ke dalam rumahnya, segera Rian hampiri rumahnya.

"Permisi, Bu!" panggil lelaki itu begitu tiba di depan pagar rumah besar tersebut bersama motornya yang masih menyala.

Sementara itu yang dipanggil melemparkan tatapan bingung, tak ayal ia hampiri Rian yang masih setia berada di atas motornya.

"Kalau boleh tahu, ini yang tinggal di sebelah Ibu orangnya kemana, ya?" tanya Rian langsung begitu wanita tersebut tiba di pagar rumahnya. Tentu saja ia sangat berharap pada jawabannya.

Wanita itu bergumam panjang seolah sedang mengingat sesuatu sebelum membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Rian. "Waktu itu, sih, setahu saya anaknya yang kedua dirawat di rumah sakit. Cuma saya kurang tahu dia sakit apa. Tapi semenjak itu gak pernah kelihatan lagi, tuh, batang hidungnya di sini. Gak ada yang ngasi tahu ke tetangga soalnya, jadi kami kurang tahu juga."

Rian mengangguk paham. Ia tahu siapa yang dimaksud wanita itu. Tentu saja Bara. Ia masih ingat, Bara mempunyai seorang kakak laki-laki, itu artinya Baralah anak kedua dari keluarga tersebut.

"Maaf nanya lagi, nih, Bu. Ibu tahu gak waktu itu Bara dirawat di mana?" tanya Rian lagi, masih berusaha mengorek informasi lebih.

"Oh iya! Bara ...," celetuk wanita tersebut, baru ingat kalau namanya Bara. Lantas ia meringis pelan. "Maaf, dek, saya juga kurang tahu. Gak dikasi tahu soalnya sama mereka. Kami yang tetangganya aja mau jenguk jadi gak bisa."

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang