CHAPTER 12 (PRIVATE)

2K 90 9
                                    

Apakah aku benar-benar berharga di matamu? Lalu jika iya, apakah aku memang pantas untukmu?

Albara Putra Pradipta

Rajani turun dari motor merah itu dengan susah payah. Lengannya mencengkram bahu wanita paruh baya di depannya yang membawa Jani pulang ke rumah.

"Pelan-pelan, Dek," peringat ibu itu lagi. Melihat itu membuat Jani tersenyum tipis.

"Makasih, Bu." Setelah itu ia menolehkan kepalanya ke belakang. Seorang pemuda yang membawakan motornya ke sini berjalan ke arahnya. Menyerahkan kunci motor tersebut pada Jani.

"Makasih, Bang." Sekali lagi Jani mengucapkan terima kasih, tersenyum pada dua manusia yang sudah menolongnya.

"Iya, sama-sama. Lain kali hati-hati kalau bawa motor."

Perempuan berambut pendek itu meringis pelan mendengar nasihat laki-laki itu. Tak ayal ia pun mengangguk. "I-iya, Bang. Tadi saya kaget, langsung banting setir gitu."

"Hati-hati aja, Dek ...." Jani menoleh ke arah wanita paruh baya tersebut, kemudian mengangguk.

"Kalau gitu saya pamit dulu."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, kedua orang tadi langsung berlalu dari pekarangan rumah Jani. Hingga mereka hilang di tikungan komplek, barulah Jani berbalik menuju rumahnya.

Ia melangkah pelan, tertatih karena pergelangan kakinya masih terasa nyeri. Sebelah tangannya ia gunakan untuk menahan lengan kiri yang terluka. Sungguh, ini semua diluar dugaan Jani hari itu.

Gadis bertubuh pendek itu meringis tatkala lengannya yang luka tak sengaja tersentuh jemarinya. Membuat Jani menggigit bibirnya kuat.

"Assalamu'alaikum! Mama!"

Jani menunggu di depan pintu. Menanti orang rumah membukakan pintu. Jantungnya berdebar, takut melihat ekspresi ibunya nanti. Apakah ia akan dimarahi?

Perlahan pintu kayu itu terbuka, membuat jantung Jani kembali berdetak lebih cepat. Sosok wanita paruh baya muncul dari balik pintu, menampilkan raut wajah terkejutnya melihat kondisi Jani.

"Astaghfirullah! Kamu kenapa?!"

Jani berjengit kaget, meringis ketika Rosita tiba-tiba meraih lengannya. Jelas sekali bahwa wanita itu panik bukan main. "Aku jatoh tadi."

"Kok bisa? Kamu ditabrak, hah?" tanya Rosita lagi. Namun belum sempat anaknya menjawab, ia kembali bersuara. "Sini masuk! Ya ampun ... ini darahnya sampe kayak gini."

Lengan wanita berambut sebahu itu merengkuh Jani. Menuntun anak bungsunya masuk ke dalam rumah. Setibanya di ruang tengah, ia segera berlari mengambil kotak P3K. Membiarkan Jani yang kini terduduk di sofa dengan perasaan tak karuan.

Pusing, takut, kesal bercampur menjadi satu. Jani masih tidak habis pikir. Mengapa tadi ia mengirimi Bara pesan? Dan juga, Bara meneleponnya?

Ini bukan mimpi, kan?

Jani menggeleng kuat. Jika ini mimpi, luka di lengan kirinya seharusnya tidak akan terasa sakit. Ini nyata, bukan mimpi, apalagi khayalan.

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang