CHAPTER 36

282 15 5
                                    

Ketahuilah sayang. Hari ini, esok, atau bahkan ketika jantungku sudah tidak mampu berdetak pun, aku tetap mencintaimu.

Albara Putra Pradipta

Malam itu langit mendung. Tidak ada bintang yang biasanya berkelap-kelip memancarkan kemilaunya. Bulan pun nampak ragu untuk menampakkan wujudnya. Sementara itu awan mendung dengan beraninya menyelimuti angkasa, seolah-olah malam itu mereka yang menguasai bumi.

Genta yang sedari tadi duduk di bingkai jendela kamar Bara yang terbuka sambil menatap langit akhirnya menggeser pandangannya pada pemilik kamar. Laki-laki itu sedang berbaring di atas kasur dengan mata tertutup.

Sejak matahari terbenam tadi, sahabatnya itu memintanya untuk datang kemari untuk menemaninya. Tapi begitu Genta tiba di sana, yang ia dapati hanyalah Bara yang sedang tertidur. Bahkan posisinya saja sampai sekarang tidak berubah sama sekali.

Menghela napas panjang, akhirnya Genta kembali melemparkan pandangannya pada langit di atas. Pikirannya yang sempat ia biarkan beristirahat akhirnya kembali bekerja.

Dulu ketika awal masuk SMA Prima, Genta tidak punya teman sama sekali. Meskipun kelihatannya ia adalah tipikal orang yang mudah berbaur, nyatanya pada saat itu dia sempat terasingkan. Entah apa alasannya, Genta tidak tahu pasti. Yang jelas ketika itu tidak ada yang mendekatinya untuk sekadar berteman.

Lalu pada hari itu ketika ia terlambat datang ke sekolah untuk pertama kali dalam seumur hidup, entah bagaimana rencana Tuhan, Bara dan Disa dipertemukan dalam satu waktu. Meskipun mereka tidak saling kenal, tapi entah mengapa ketika itu mereka saling bahu-membahu untuk meloloskan diri agar bisa masuk ke dalam gerbang sekolah yang terkunci.

Semenjak saat itu, mereka memutuskan untuk berteman. Walau mereka tidak sekelas, tapi pertemanan mereka masih bertahan hingga di tahun berikutnya, hingga mereka dipertemukan dalam satu kelas yang sama.

Genta terkekeh membayangkan masa lalu. Tak bisa ia pungkiri, tiga orang dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang dapat bersatu dalam ikatan persahabatan. Bara yang begitu cuek dan dingin, Disa yang terkesan pemarah, dan Genta yang penuh dengan candaan.

Karena dua manusia itu, Genta merasa bahwa hidupnya jadi lebih berwarna. Tidak sehambar sebelumnya.

Perlahan senyum Genta yang terukir tipis mulai memudar. Kali ini ia harus kembali pada kenyataan bahwa salah satu sahabatnya itu sedang kritis. Entah cepat atau lambat, Genta yakin bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah laki-laki itu pergi dari hidupnya. Kapan pun itu, Genta belum siap. Genta belum siap untuk kehilangan seseorang yang telah menjadi support system-nya untuk 2 tahun ini.

Tuhan, kenapa harus Bara? Kenapa gak gue aja yang sakit? Kenapa harus temen gue sendiri? tanya Genta dalam batinnya. Berteriak pada Tuhan meminta penjelasan.

Mungkin jika dirinya yang sakit, jika dirinya yang harus pergi meninggalkan dunia ini, tidak ada yang perlu menangisinya. Mungkin hanya Disa dan Bara saja. Tapi yang lain? Belum tentu.

Bara punya kedua orang tua yang sangat menyayanginya, abang yang selalu perhatian padanya, bahkan Bara punya Jani yang masih mencintainya.

Ah ya ... Jani. Genta melewatkan hal itu.

Jani, perempuan yang sudah Genta kagumi sejak awal tahun bersekolah di Prima. Perempuan yang menjadi alasan mengapa dirinya bersemangat ke sekolah. Perempuan yang tanpa sadar membuat dirinya menjadi sadar, bahwa hidup tak melulu tentang luka.

Ketika itu, Genta merasa yakin bahwa suatu saat ia bisa mendapatkan Jani. Harapannya semakin tinggi ketika Jani pada hari itu mengajaknya untuk berbicara. Ia pikir, saat itulah awal dari kisah cintanya dengan Jani.

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang