CHAPTER 31

1.3K 45 1
                                    

Apakah mungkin ini yang lama aku tunggu?

— Sal Priadi

Mata elang yang dulu selalu melemparkan tatapan tajamnya itu kini hanya mampu menatap sendu pada sebuah benda kecil elektronik yang ia genggam. Ia tidak bersuara, menciptakan suasana hening pada ruangan putih berukuran persegi panjang tersebut. Detik jam terus berbunyi, menemaninya yang terdiam menikmati patah hati.

Tangan Bara yang kini kurus masih menggengam erat ponselnya. Iris hitam itu tertuju pada deretan chat antara dirinya dengan Jani yang tertera di layar kecil tersebut. Lagi-lagi sesak menyelimuti hatinya, membuat Bara mengembuskan napas panjang. Melepaskan sesak untuk yang kesekian kalinya.

Dulu ketika semuanya masih baik-baik saja, room chat mereka pasti akan penuh oleh ocehan Jani. Segala hal tidak penting yang diceritakan oleh Jani pun mampu membuat Bara merasa senang. Seolah hanya dengan Janilah Bara bisa bahagia.

Tapi sekarang berbeda. Semuanya tak lagi sama. Ia sudah menghancurkan Jani. Menghancurkan kebahagiannya sendiri.

Jika saja penyakit ini tidak menghampirinya, mungkin Bara masih bisa menghabiskan waktunya bersama Jani. Gadis yang sempat menghidupkan kembali dunia kelamnya setelah sekian lama terkubur dalam luka.

Bara menarik napas dalam, sesak itu kembali memenuhi rongga dadanya. Ia ingin menangis. Ingin berteriak pada Tuhan atas apa yang telah terjadi pada hidupnya.

Mengapa ia tidak bisa bahagia? Apakah kebahagiaan itu tak akan pernah lagi berpihak pada dirinya?

Tanpa bisa dicegah, sebutir air mata itu turun dari kelopak matanya. Membentuk garis transparan yang tecetak jelas di pipinya yang pucat. Mewakili segenap luka yang ia pendam belakangan ini.

"Kamu kenapa, Bar?" Yanti yang sedari tadi duduk diam memerhatikan Bara dari kursi ruangan tersebut langsung bangkit, menghampiri Bara yang kelihatannya sedang tidak baik-baik saja.

Cowok berambut fringe itu mematikan ponsel hitam tersebut lantas menutup matanya. Memalingkan wajah itu ke arah lain, asal tidak terlihat oleh ibunya.

Yanti tidak boleh tahu bahwa saat ini Bara sedang patah hati.

"Apanya yang sakit?" tanya Yanti mulai khawatir. "Bilang sama Mama. Kamu mau apa?"

Hati Bara semakin mencelos mendengar ucapan tersebut. Hatinya sakit, dan yang ia butuhkan saat ini ialah Jani sebagai obat patah hatinya.

Tapi bagaimana mungkin? Gadis itu pasti sudah membencinya setangah mati usai Bara mengucapkan kalimat meyakitkan beberapa saat lalu lewat telepon.

Ya, katakanlah bahwa Bara nekad. Katakanlah bahwa Bara munafik.

Semuanya memang benar adanya.

"Bara?"

"Aku gak apa-apa." Pada akhirnya cowok beralis tebal itu menyahut dengan suara parau.

Menghela napas panjang, akhirnya Yanti memilih untuk membiarkan anak bungsunya dan kembali pada posisi awal. Jujur, ia khawatir akan Bara yang selalu terlihat murung jauh sebelum ia dilarikan ke rumah sakit.

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang