CHAPTER 28

1.4K 45 4
                                    

Entahlah. Aku masih bertanya dalam hati. Masih terus menyelami pikiranku sendiri.

Apa aku menyesal telah mencintaimu?

— Rajani Amaleeyah

Tepat ketika kendaraan beroda dua milik gadis itu tiba di parkiran sekolah, ia segera memarkirnya setengah sembarang, lantas buru-buru mengambil langkah lebar menuju kelas Genta di lantai dua. Matahari yang bisa dikatakan 'baru muncul' menjadikan area sekolah itu sepi. Belum ada yang datang selain dirinya serta office boy yang bertugas. Dan juga, Genta.

Sepertinya.

Jani menaiki anak tangga yang mengantarkannya pada lantai dua dengan tak sabaran, ingin segera bertemu dengan Genta dan menanyakan maksud chat-nya semalam. Semalam ketika Jani bertanya apa maksud dari ucapannya, cowok dengan rambut jambul itu hanya mengatakan bahwa esok di sekolah, ketika matahari baru muncul, Genta akan menjelaskannya.

Maka dari itulah Jani datang ke sekolah di pagi yang masih awal ini. Dengan segala tanda tanya serta harapan, ia datang ke sekolah. Berharap ketika bertemu dengan Genta nanti semua perasaan itu akan sirna. Meskipun Jani tidak sepenuhnya yakin hal itu bisa terjadi.

Begitu sampai di lantai dua tepatnya di koridor kelas 12 IPS, ia langsung disuguhi pemandangan seorang cowok bertindik yang kini tengah menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas sembari melempar pandangan ke lapangan sekolah. Tanpa menunggu lagi, dilangkahkan kembali kaki Jani menuju sosok tersebut. Mumpung masih sepi lantaran belum ada siapa-siapa di sana kecuali mereka berdua.

Suara sepatu yang bergesekan dengan lantai menyedot perhatian Genta. Cowok berjambul yang sedang larut dalam pikirannya itu langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Jani yang kini tengah melangkah dengan tak sabaran ke arahnya. Genta mengabaikannya, menunggu hingga gadis berambut pendek itu berdiri tepat di sampingnya. Perlahan dilemparkan kembali pandangannya ke halaman sekolah.

"Gen, kali ini gue nanya serius. Maksud lo tadi malam, tuh, apa?" cerocos Jani begitu tiba di samping Genta. Napasnya memburu efek menaiki anak tangga tadi, namun hal itu tak menyurutkan rasa penasarannya.

Yang ditanya hanya mengembuskan napas panjang tanpa mau bergerak. Seolah dengan begitu rasa sesaknya dapat terkurung oleh dirinya sendiri. "Ya ... gitu."

Singkat, padat, dan tidak jelas. Mendengar itu membuat emosi Jani terpercik sedikit.

"Gitunya gimana? Jelasin ke gue, lah! Semalem katanya mau jelasin pagi ini. Gue udah bela-belain bangun pagi, nih, cuma buat penjelasan lo doang," sahut Jani panjang lebar, tak terima dengan respon Genta yang diluar dari perkiraannya.

"Gue masih belom yakin, Jan." Sekali lagi Genta mengembuskan napas pendek. Jujur, ia bingung harus berbicara apa ketika ditanya seperti ini. Ingin rasanya mengungkapkan semuanya, tapi apakah ia berhak?

"Gak yakin gimana? Bara kenapa, sih?" tanya Jani beruntun, menyuarakan apa yang ia pertanyakan dari kemarin.

Genta mengulum bibirnya, pikirannya kembali berkelana. Lantas ketika teringat akan Bara yang kini tengah terbaring lemah di sana, Genta spontan mendengus kasihan. Membuat Jani semakin mengerutkan dahinya dalam.

"Bara gak kenapa-kenapa, kok." Cowok bertubuh jangkung itu mencoba tersenyum, menutupi luka di hatinya sendiri. "Dia cuma butuh waktu aja."

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang