CHAPTER 33

1.2K 36 2
                                    

Sampai saat ini aku masih terus bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku memang benar-benar membencinya?

— Rajani Putri Amaleeyah

Angin sejuk yang dihembuskan oleh AC kamar tersebut nampaknya tidak mampu untuk mendinginkan kepala gadis berambut pendek itu. Bersama Riri dan Ika, Jani tak henti-hentinya menatap bunga akasia pemberian orang yang ia letakkan begitu saja di depan mereka bertiga. Otaknya dipaksa bekerja, sibuk memikirkan siapakah gerangan yang memberinya bunga ini.

Mengembuskan napas panjang, Ika yang sedari tadi bertumpu dagu lantas menegakkan badannya yang mulai kaku. "Otak gue gak bisa mikir, nih! Gue juga jadi ikutan bingung."

"Haduh." Riri mendesah panjang, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kok gue ngerasa kalau yang ngasi bunganya malah Genta, ya?"

Jani menoleh dengan wajah penasaran.  Mendengar nama Genta kembali membuat kepalanya semakin berdenyut bingung. "Kok gitu? Padahal tadi pagi gue udah nanya dia, tapi katanya bukan dia yang ngasi."

"Mana ada secret admirer yang mau ngaku?" sela Riri disertai kekehannya. Ingin tertawa mendengar ucapan Jani.

"Emangnya Genta itu secret admirer-nya gue?" tanya Jani lagi. Kini ia merubah posisinya menjadi duduk bersila.

"Bisa jadi," jawab Riri enteng. "Menurut gue, sih, gitu. Gatau bener apa enggak. Tapi setidaknya gue udah memberikan pendapat gue."

"Eh tapi bener sih, Ri." Ika yang sedari tadi diam menyimak akhirnya membuka suara. Ia raih bunga akasia tersebut lantas memerhatikannya baik-baik. "Bisa jadi Genta yang ngasi. Soalnya nih, ya, seinget gue bunga akasia itu artinya cinta diam-diam."

Gadis berambut pendek itu mengerutkan dahinya bingung. Semakin pusing akibat ucapan Ika. "Terus hubungannya sama Genta apa?"

"Kalau gue perhatiin nih, ya ... cara Genta ngeliat lo itu beda. Kayak ada sesuatu gitu. Ibaratnya lo lagi ngomong sama gebetan lo, tapi lo gak bisa mengekspresikan rasa seneng lo. Akhirnya mata lo, deh, yang bisa menyampaikannya," terang Riri panjang lebar. Di saat-saat seperti ini, otak Ririlah yang bisa diandalkan. Dengan segala teori serta perkirannya, gadis berambut ikal tersebut mampu meredakan kebingungan temannya.

Mendengar itu membuat Jani mengembuskan napasnya panjang. Masa, sih? Genta suka sama gue?

"Tapi ... kok bisa?" Pada akhirnya hanya satu kalimat itulah yang meluncur dari bibir Jani. Mewakili segenap tanda tanya yang mengambang di benaknya.

Ika meletakkan kembali bunga tersebut  di hadapan mereka lantas bersuara. "Bisa, lah, Jan. Kita gak akan pernah tahu cinta datang atau pergi. Dengan atau tanpa alasan."

"Betul," timpal Riri cepat.

"Tapi gak mungkin, Ka .... Gak mungkin Genta bisa suka sama gue. Secara waktu itu tiap hari gue curhat tentang Bara, kok! Kalau misalnya Genta suka sama gue, pasti dia selalu ngehindarin topik itu. Bukannya malah ngasi saran ke gue." Rajani menarik napas panjang. Mulai menguatkan pendapatnya sendiri. "Gak mungkin Genta orangnya."

"Terserah lo, sih, mau percaya kita apa enggak," kata Riri pelan. "Gue cuma menyampaikan apa yang ada di kepala gue doang."

Jani tak membuka suara lagi setelah itu. Yang ia lakukan hanya terdiam seraya menjatuhkan pandangan pada bunga akasia tersebut. Otaknya sudah letih bekerja, namun ia masih menyimpan rasa penasaran yang besar terhadap sosok di balik bunga tersebut.

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang