CHAPTER 19

1.5K 52 7
                                    

PERHATIAN!!!

Di chapter ini ada percakapan yang bahasanya agak kasar. Sengaja aku masukin biar menggambarkan suasananya gitu. Jangan salahin aku yaa hehe

ps. Lebih banyak aksi daripada percakapan.

________________________

Aku sadar dengan sepenuh hati. Ketika jantung ini berdenyut indah saat kamu memanggil namaku.

— Albara Putra Pradipta

Tangan kokoh Bara menutup pelan pintu lemari pendingin itu. Di tangan kirinya sudah ada mineral dingin yang baru saja ia ambil dari dalam sana. Lantas ia berjalan mendekati Sang Penjual sambil menggenggam uang lima ribuan.

"Nih, Mba. Tiga ribu, kan?" tanya Bara memastikan sambil menyodorkan uang tersebut.

Perempuan yang usianya kisaran 20 tahun-an itu mengangguk. "Iye, kalau mau lebihin juga gak apa-apa." Ia terkekeh lalu mengambil uang lima ribuan itu dan menyerahkan dua ribuan sebagai kembaliannya.

Bara hanya tersenyum tipis. Sangat tipis sampai penjual itu mengira bahwa itu bukanlah senyuman. Tipikal orang yang tidak banyak berbicara dan kurang suka berinteraksi dengan orang sekitar. Ia hanya diam mengambil uang kembalian, kemudian berbalik menjauhi area kantin.

Bara sudah merencanakan hal ini. Ia tahu sejak seminggu yang lalu dari Genta bahwa hari ini waktunya kelas IPS 2 mengambil nilai lari. Maka dari itu ia ingin memberi sebuah perhatian kecil untuk Jani—meskipun hanya sekedar memberi minuman. Tapi tetap saja, hal seperti ini menjadi hal yang berarti bagi Bara setelah sekian lama membekukan hatinya.

Bara terus menyusuri jalan bersemen yang menghubungkan gedung sekolah dan kantin itu dengan mantap. Area tersebut masih sepi, hanya ada Bara dan beberapa anak berseragam olahraga yang nongkrong di pinggiran lapangan futsal indoor.

"Gila tuh guru! Tega amat sama lo."

"Gue gak habis pikir, ye. Untung aja gue gak pingsan."

"Tapi serius, gaes. Gue gak kuat jalan, nih! Capek banget."

"Bentar lagi nyampe kantin, Jan. Hidup lo jangan kebanyakan ngeluh, deh."

Suara-suara itu terdengar memenuhi pendengaran Bara. Semakin ia melangkahkan kakinya, suara-suara yang ia yakini sebagai suara perempuan itu semakin dekat. Awalnya Bara tidak terlalu memusingkan hal itu. Namun saat satu di antaranya selalu memanggil nama teman mereka dengan sebutan Jan, barulah Bara mengernyitkan dahinya.

Jan? Eh, itu kan suaranya Jani?

Benar saja. Ketika Bara berbelok di tikungan dan suara-suara tersebut seakan berada di depannya, ia langung berhadapan dengan tiga orang gadis dengan keringat yang menjiplak di seragam olahraganya. Ketiga gadis itu juga menyadari kehadiran Bara di sana. Mereka bahkan terlonjak karena saking kagetnya.

Terlebih lagi gadis dengan jepit rambut itu.

"Eh anjir! Kaget gue!" Ika yang posisinya berjalan mendahului Jani dan Riri otomatis langsung menabrak tubuh menjulang Bara yang ada di depannya. Kini posisi mereka semua tepat di tikungan koridor bersemen itu.

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang