10

754 8 0
                                    

"Kamu tuh kenapa sih? Ini pernikahan kita, tapi aku ngerasa kamu cuma mau nurutin mau kamu sendiri! Kamu nggak pernah ngertiin aku!"

"Terus mau kamu apa?! Kamu mau batalin pernikahan kita?!"

"Apa? Segampang itu kamu mau batalin pernikahan kita? Tega kamu Matt!" Air mata Vina menetes di pipi.

Vina pergi meninggalkan Matteo seorang diri. Matteo terpaku. Ia mulai iba pada Vina.

"Apa aku terlalu kejam? Tapi tak terpikirkan olehku cara lain untuk menghentikan hubungan ini. Atau mungkin aku harus mengajaknya pisah dengan cara baik-baik? Tapi untuk alasan apa?"

Matteo bertekad untuk mengejar Vina. Sayangnya Vina telah pergi mengendarai mobilnya. Karena jarak parkiran motor dengan parkiran mobil berjauhan, Matteo berlari untuk menuju tempat motornya terparkir.

Ponsel Matteo bergetar. Rossy menghubunginya.

Matteo berhenti, mengambil ponsel dari sakunya dan menatap layar ponselnya hingga getaran ponselnya berhenti. Matteo bimbang. Di satu sisi, ia mencintai Rossy. Namun di sisi lain, Matteo iba terhadap Vina yang tidak mengetahui hal yang sebenarnya.

Matteo memikirkan perasaan Vina. Bagaimana pun juga, Vina adalah orang yang paling tersakiti dengan keputusan Matteo untuk memperjuangkan cintanya dengan Rossy.

Ia frustasi. Kakinya melemas. Ia pun tersungkur, menunduk dan memejamkan mata. Bayangan Vina dan Rossy bergantian muncul dalam benaknya. Kalau saja ia bukan lelaki, pasti ia sudah menangis karena sebenarnya Matteo adalah pria yang lembut dan berbelas kasihan.

Ponsel di tangannya kembali bergetar. Saat ini ia memang sangat ingin mendengar suara pujaan hatinya, namun ia masih merasa bersalah pada Vina. Ia tak kunjung menerima panggilan itu hingga getarannya kembali berhenti.

Matteo mendengus. Ia mengeraskan urat-urat di kedua tangannya, untunglah ponselnya tidak remuk. Kini ia marah. Matteo marah terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa memutuskan. Ia mencoba berpikir keras.

Tiba-tiba Matteo menghela napas. Perlahan ia membuka mata dan bangkit berdiri. Emosinya sudah reda. Kini ia tahu apa yang akan ia perbuat. Ia mematikan ponselnya, mengambil kunci dari sakunya sembari berjalan.

Sampai di depan motornya, Matteo berhenti. Ia menganggukan kepala dengan mengatupkan kedua bibirnya. Meyakinkan dirinya sendiri.

Dengan yakin Matteo memacu kendaraannya, ia pulang ke rumah dan berkemas.

Rose TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang