4

1.9K 19 0
                                    

Dhuarr..

Petir kembali menyambar.

"Aaa!" Pekik Rossy.

Gelap.

Sepertinya petir menyambar sesuatu di dekat sini sehingga listrik pun padam.

Terang. Lampu kembali menyala.

Rossy duduk meringkuk di atas ranjang. Matteo menghampirinya.

Baru saja Matteo duduk di tepi ranjang, Rossy langsung saja mendekat dan memeluk erat Matteo yang masih belum mengenakan atasan.

"Rossy, jangan kayak gini."

"Bang, aku takut."

"Tapi Ros, lepasin. Jangan kayak gini."

Rossy terisak.

Matteo bimbang. Meski begitu pada akhirnya ia membalas pelukan Rossy.

"Oke Ros. Kamu tenang ya. Aku di sini."

Matteo berusaha menahan gejolak di tubuhnya. Tapi selang beberapa detik saja gejolak itu semakin tinggi.

"Udah ya Rossy."

Rossy semakin mengeratkan pelukannya.

Mendadak tubuh Matteo panas. Tenggorokannya terasa kering.

"Maafin aku sayang."

Tangan Matteo mulai meremas punggung Rossy yang masih tertutup kimono mandi.

Rossy tersentak. Ia tersadar. Berontak. Sayang Matteo terlalu sulit dilawan. Badannya yang kekar membuat Rossy tidak bisa melepaskan pelukannya.

"Bang, jangan Bang." Ucapnya lemah.

Teo mendorong tubuh Rossy hingga terbaring. Bibirnya menyambar bibir Rossy. Awalnya Rossy menolak, tapi tidak butuh waktu lama, ia pun membalas pagutan bibir Matteo.

Mendapat lampu hijau, Matteo justru tidak melanjutkannya.

Matteo bangkit dan menjauh. Rossy memandanginya dengan tatapan bingung.

"Bang."

"Maafkan aku Ros. Aku tidak bermaksud."

Rossy pun bangkit dan mendekati Matteo yang kini berdiri memunggunginya.

"Aku yang mulai Bang. Ini salahku. Abang pasti merasa bersalah kepada kak Vina kan?"

Teo berbalik.
"Rossy! Aku mencintaimu sejak dulu. Mungkin kamu nggak tau. Dulu aku tidak pernah dekat dengan Vina, tapi sejak kami belajar kelompok di rumahmu, aku melihatmu. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Makanya aku sering main ke rumahmu. Itu semua bukan karena aku menyukai Vina, tapi karena kamu! Tidak kuduga, Vina justru menaruh harapan kepadaku."

Rossy meneteskan air matanya.
Matteo menangkupkan kedua tangannya di kedua pipi Rossy.

"Dan aku tidak melanjutkan hal tadi bukan karena Vina. Tapi karena aku sadar, kamu sangat berharga. Aku seharusnya tidak ... memperkosamu. Aku menyayangimu. Aku tidak mau kamu membenciku."

"Kak Teo." Rossy mengumpulkan tenaganya untuk bicara.

"Aku juga cinta sama kakak, tapi aku nggak berani ngomong karena aku pikir kak Teo cinta kak Vina. Aku  ingin kak Teo bahagia, walaupun itu berarti aku harus menahan sakit hati melihat kalian berdua."

"Astaga. Kenapa aku tidak menyadarinya. Tapi bagaimana dengan Arvin?"

"Arvin?"

"Ya, bukankah dia pacarmu?"

"Pacar? Dia sahabatku. Dia tau aku mencintaimu Kak. Lagipula pacarnya ada di Melbourne. Dia sering menemuiku untuk curhat tentang pacarnya."

"Aku mau bertunangan dengan Vina karena aku pikir kamu sudah bersama Arvin."

Rossy melangkah melewati Matteo. Duduk di sofa tempat Matteo tidur.

"Aku dan Arvin hanyalah sebuah kesalahpahaman. Tapi kamu dan kak Vina... Kalian akan menikah."

"Rossy. Aku tau aku bodoh."

"Aku juga."

"Nggak, kamu nggak bodoh."

"Bukan itu. Aku juga tau kak Teo bodoh. Bukannya mengatakan padaku sejak awal tapi justru berasumsi sendiri. Menikahi orang yang tidak kamu cintai adalah hal terbodoh yang akan kak Teo lakukan."

Matteo menghela napas.
"Ya. Tapi sekarang apa yang bisa kita lakukan?"

"Tidak ada. Meskipun kakak membatalkan pernikahan itu, kita tidak mungkin bersatu. Keluargaku akan berpikir aku merebut kak Teo dari kak Vina."

"Pasti ada. Ya, pasti ada jalan." Ucap Matteo meyakinkan diri sendiri.

"Berjanjilah, kita akan selalu saling memberi tahu sampai kita menemukan jalan."

"Baiklah. Mungkin hanya itu yang bisa kita lakukan."

"Aku akan pesankan minuman untuk kita." Matteo mengangkat gagang telepon dan berbicara untuk beberapa saat.

Rose TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang