- Pertemuan -

51 10 1
                                    

"Akhhhh! ...."

Seorang perempuan berteriak dengan sangat nyaring. Membangunkan hampir seisi rumah. Pagi yang hangat dan indah berubah menjadi riuh karena kegaduhan yang ia buat.

"Kenapa kau berisik sekali!" pekik ibu tirinya sambil menendang pintu kamarnya.

"Maaf bu."

Plakkk

Sebuah tamparan yang keras mendarat di pipi perempuan itu sesaat setelah dia membuka pintu. Air matanya yang mencoba mengalir keluar berusaha ia tahan. Rasa sakitnya memang tak seberapa tapi tamparan ini seolah bukan hanya memukul wajahnya tapi juga hatinya.

"Aku sudah tidak tahan lagi mengurus gadis tidak waras sepertimu. Sebaiknya kau angkat kaki dari rumah ini sebelum aku yang menyeretmu keluar!" usir sang ibu.

Dengan berat hati, gadis yang baru berumur 12 tahun itu membereskan baju-bajunya. Dia bergegas pergi sebelum si ibu tiri mengamuk lagi. Dengan langkah gontai dia meninggalkan rumah peninggalan ayahnya itu. Sesekali air matanya jatuh, mengisyaratkan bahwa dia sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Mulai dari hari itu dia mengurus hidupnya sendiri, mencari makanan sendiri, serta mencari tempat tinggal sendiri.

"Aku harus bisa bertahan hidup," ucapnya sambil memakan roti berjamur yang ia temukan di dalam kotak sampah.

Dia hanyalah seorang gadis kecil, tidak memiliki orang tua dan tempat tinggal. Bahkan dia tak mempunyai tujuan untuk tetap hidup, rasa ingin membunuh dirinya sendiri berkecamuk di dalam hatinya. "Untuk apa aku hidup jika alasan dan tujuan pun tidak ada."

Gadis itu bersiap untuk melompat, mengikhlaskan kehidupan yang di berikan kepadanya. Padahal banyak orang di luar sana yang berusaha untuk tetap hidup. Tapi, dia memilih untuk mengakhirinya. Bukan salahnya jika apa yang dia alami sungguh sangat menyakitkan.

"Ayah, ibu, aku akan segera menyusul kalian."

Senyuman manis terukir di wajahnya. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Ia bisa merasakan bahwa sungai yang ada di bawahnya pasti terasa seperti air es yang baru di keluarkan dari kulkas. Saat tubuh manusia dengan berkecepatan tinggi mendarat ke dalamnya, maka akan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat menyakitkan.

"Melompatlah, kau memang anak yang tidak seharusnya lahir di dunia ini," sebuah bisikan menggema di telinganya. Saat dia sudah menyiapkan diri untuk melompat tiba-tiba saja--

Wooosshhh ....

Sesuatu dengan kecepatan tinggi seperti angin menerbangkannya. Membawanya pergi entah kemana. Saat ini dia merasa seperti daun yang gugur dan di terbangkan oleh angin dan perlahan ia pun jatuh ke tanah.

"Hei, bangun."

"Eh, aku di mana?" tanya Dilfa pada laki-laki yang membangunkannya barusan.

Bukannya menjawab, laki-laki itu malah melangkah pergi. Membuat Dilfa sangat kesal sampai ingin merobek wajah angkuh laki-laki tersebut.

"Hey, jawab dulu pertanyaanku!" pekiknya dengan kuat, membuat orang yang ada di sekelilingnya menoleh ke arahnya.

"Sepertinya kau peserta baru. Perkenalkan namaku Ikham, panitia dari sayembara pencarian kalung bumi," ujar seorang laki-laki yang sepertinya sangat ramah.

"Salam kenal namaku Dilfa. Maaf, a-aku tidak tau kenapa aku bisa ada di sini. Bisakah kau memberitahuku tempat apa ini," sahut Dilfa dengan gugup karna ini pertama kalinya dia berbicara dengan laki-laki seakrab ini.

"Tentu, di sini adalah tempat berkumpulnya para anggota pencari kalung bumi. Apakah kau mendapat semacam surat dan meneteskan darahmu di sana?"

"Ya, aku mendapatkan surat itu dan meneteskan darahku di sana."

"Berarti kau sudah menjadi anggota kami, sebaiknya kau menukar bajumu dulu."

Setelah berganti pakaian dan makan, para peserta seperti Dilfa di kumpulkan di satu tempat. Mereka di berikan sebuah lencana berbentuk bumi. Lencana itu bisa mengirim mereka ke semua tempat yang ada di bumi dalam waktu singkat. Tapi, dalam sehari lencana itu hanya bisa di pakai 5 kali saja.

"Kalian seorang petualang harus bisa menemukan titik-titik tersebarnya kalung bumi. Jika kalian gagal! Konsekuensinya adalah kehilangan impian yang kalian miliki," papar seseorang yang seperti pemimpin di hadapan seluruh peserta sayembara.

"Huamm ..., kelihatannya sangat mudah, tidak menantang," sahut perempuan yang tepat berdiri di samping Dilfa.

"Benar, aku belum mengumumkan satu hal penting. Berhati-hatilah terhadap aliansi penjahat Weiren, mereka juga memiliki tujuan yang sama seperti kalian semua. Bedanya dari kita, aliansi penjahat ini akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kalung bumi, bahkan bisa membunuh. Sekian itu saja untuk hari ini," pamit orang itu dan seketika dia menghilang dari pandangan semua orang.

"Sebaiknya aku pergi ke daerah pegunungan, di situ sinyal kalungnya terasa lebih kuat," celetuk Dilfa sambil melihat tab yang menunjukan lokasi dan sinyal kalung bumi yang tersebar.

"Jangan berdiri di tengah jalan."

"Eh, kamu laki-laki angkuh tadi kan?"

"Menyingkir!"

Dengan kesal Dilfa menyingkir dan memberi jalan pada laki-laki yang dia sebut angkuh barusan. "Cih, dia menyebalkan."

"Benar sekali, Arkan memang sangat menyebalkan," imbuh seseorang yang mendengar kekesalan Dilfa.

"Jadi nama dia Arkan, nyeh gak sesuai sekali sama sifatnya!"

"Hahah iya, tapi Arkan itu orangnya terkenal baik hati, baru kali ini ada perempuan yang benci sama sifatnya."

Dengan perasaan gusar Dilfa menoleh kearah orang yang mengoceh tentang Arkan. "Eh kak Ikham, a-ano apa dia itu temanmu."

"Betul, dia memang temanku, maaf atas sifat angkuhnya barusan. Wajahmu itu mirip seseorang yang dia kenal."

"Siapa?"

"Kayaknya gak baik membahas seseorang yang telah meninggal," jawab Arkan yang berdiri tepat di belakang mereka berdua.

----------------------------------------------------------

Maafkan aku kalo ceritanya membosankan:(

Sekian sampai sini dulu, updatenya bakal setiap hari:v baru kali ini aku update cerita setiap hari, semoga pikiran gak stuck:>

Arigatou gozaimazu bagi yang sudah menyempatkan membaca karyaku🌻

- Cindy -

Earth Necklace [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang