- Hukuman -

23 6 3
                                    

"Apa itu hukuman takdir kematian?" tanya Dilfa pada Masuta yang sepertinya sedang mencari sesuatu.

"Nah, akhirnya ketemu juga nih buku," ucap Masuta senang. "Di sini tertulis bahwa hukuman takdir kematian adalah salah satu takdir yang tidak dapat di ubah. Jika ada manusia yang melanggar takdir ini, maka manusia itu akan di hukum dengan cara di eksekusi dan di lempar langsung ke neraka."

Wajah Masuta langsung berubah pucat. Ia jadi teringat kalo sebenarnya Selena pernah membahas tentang ini dengannya. "Apa yang sudah Selena lakukan!"

"Heh, ada apa Ma--"

"Sejak kapan kau punya luka di dada?" tanya Masuta dengan raut wajah yang serius.

"Mungkin sejak 2 tahun yang lalu, saat aku mencoba bunuh diri untuk kedua kalinya," jawab Dilfa seadanya.

Kini yang Masuta takutkan menjadi kenyataan. Harusnya ia tak menganggap main-main ucapan Selena waktu itu. Harusnya ia bisa mencegah temannya untuk tidak mengeluarkan energi terkutuknya hanya untuk melindungi laki-laki yang membencinya.

"Selena, maafkan aku, harusnya aku tak membantumu untuk dekat dengan laki-laki bernama Arkan itu," batin Masuta yang merasa sangat menyesal.

"Kenapa kau menangis? Sudahlah jangan kasihan padaku, aku sudah sering mencoba bunuh diri tapi selalu gagal."

"Tak ada gunanya kau menangis, temanmu itu melakukan apa yang menurutnya benar, entah sekarang ada di mana jiwa gadis aneh itu," pungkas laki-laki yang menyebut dirinya sebagai pengantar kematian.

"Lo, jangan berani masuk kamar perempuan!" pekik Masuta kesal. Ia mencoba mendorong tubuh laki-laki tersebut keluar tapi percuma saja, tubuhnya menjadi berat seperti sebuah besi.

"Ayolah, aku juga peserta di sayembara ini, jadi aku ini teman kalian."

"Lebih baik aku berteman dengan hewan daripada dengan laki-laki macam kau," tukas Masuta.

"Namamu siapa?" tanya Dilfa pada laki-laki pengantar kematian yang saat ini sedang didorong keluar oleh Masuta.

"Panggil saja aku Zen, wujudku tak menetap aku bisa jadi apa saja dan kau tak akan mau melihatku menyeret manusia ke neraka."

"Wah, jadi itu namamu, cukup bagus juga. Tapi, Zen kau tak bisa tinggal bersama perempuan di sini, kau bisa gunakan kamar laki-laki yang ada di depan kamar kami. Pemiliknya sudah lama pergi, katanya ia pindah kamar," tutur Dilfa sambil tersenyum.

"Okey, aku akan pindah kesana."

Seketika saja Zen sudah menghilang dari hadapan mereka berdua, membuat Masuta semakin kesal dan membanting pintu kamarnya.

Bukannya bertanya kenapa temannya itu terlihat kesal, Dilfa malah tertawa. "Hahah, aku rasa Zen dan Masuta akan berteman baik nantinya."

Malam ini alam sepertinya sedang menangis, sejak tenggelamnya sang matahari, hujan tak kunjung berhenti walau jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Beberapa orang sampai tak bisa tidur dibuatnya. Hingga akhirnya mereka tak bisa menahan rasa kantuk yang menyerang. Suara hujan perlahan jadi lagu pengantar tidur, gemuruh di langit seolah ikut bernyanyi seiring dengan rintikan hujan. Malam ini akan segera berakhir di gantikan dengan sang surya besok pagi.

"Huamm ..., aku tidur dengan nyenyak hari ini," gumam Dilfa sambil sedikit merentangkan tangannya. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada wajahnya dengan cepat dia menuju kearah kaca.

"A-apa ini?" tanya Dilfa sambil bercermin.

"Itu adalah tanda pengenal manusia pengguna sihir terkutuk," bisik Zen ditelinga Dilfa.

"Ke-kenapa kau ada di kamarku? Sana pergilah."

"Baiklah, jangan marah-marah aku hanya ingin menjawab pertanyaanmu."

Setelah mengucapkan sesuatu yang membuat jengkel. Zen pun menghilang dari pandangan Dilfa. Dengan cekatan, Dilfa mencoba mencari sebuah mantra untuk menutupi tanda pengenal ini dari wajahnya.

"Huh, untung saja bisa di sembunyikan," ujar Dilfa sambil melangkah kearah meja makan.

"Lo darimana aja?" tanya Masuta khawatir karena biasanya Dilfa adalah orang pertama yang sampai ke ruang makan.

Dilfa pun menjawab dengan gugup kalo dia habis dari buang air besar dan kamar mandinya sedang ada perbaikan jadi ia memutar jalan untuk ke kamar mandi umum.

"Masuta kenapa kau bisa dua tahun di sini, bukankah pencarian kalung bumi hanya 30 hari?" tanya Dilfa penasaran.

"Impianmu masih bisa diwujudkan dengan mudah, levelnya sekitar 4 ke bawah, sedangkan impianku berbeda level denganmu, tapi tak kusarankan kau mengikuti yang aku lakukan, karena kali ini taruhannya adalah nyawa itu sendiri," jawab Masuta sambil mengaduk makanan di piringnya.

"Wah, apa impian di bedakan berdasarkan level?"

"Benar, di sini semakin tinggi level mimpimu, semakin kuat juga batu bumi yang kau temukan, sebenarnya yang kita temukan bukanlah batu bumi sebenarnya, itu hanyalah anakan," jelas Masuta.

"Oh, aku baru tau."

"Yap, di sini kau tak akan mendapat banyak informasi akurat, kecuali kau sudah lama menjadi pemburu kalung bumi."

Setelah berbincang-bincang mereka akhirnya melanjutkan makan pagi yang senyap dan sunyi. Semuanya tenggelam dengan pemikiran masing-masing. Tak ada yang bersuara hingga sebuah bunyi tembakan terdengar. Semua yang ada di ruang makan berhamburan keluar. Mencari asal dari terdengarnya suara.

"Kalian jangan mendekat! Biarkan panitia yang mengurusnya, silahkan masuk ke kamar masing-masing sampai pemberitahuan lebih lanjut," teriak salah satu pengawas.

Masuta yang mendengar pengumuman itu sontak mencari Dilfa yang menghilang. Karena banyak orang, jadi sulit untuk menemukannya.

"Dilfa! Dilfa! Kau ada di--"

Masuta menatap tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dia berusaha menutup mulutnya agar tak bersuara. Sontak dia langsung mundur ke belakang dan mencari tau apa yang sedang terjadi.

"Kenapa Arkan memeluk Dilfa sambil menangis, apa yang terjadi?! Ini persis seperti kejadian sebelum meninggalnya Selena," batin Masuta. Tanpa sadar air matanya jatuh ia jadi mengingat kejadian yang sangat ingin ia lupakan itu.

Semua orang bergerak buru-buru tanpa memperhatikan sekitar. Tak ada yang menyadari kalo ada seorang pemuda yang sedang menangis sambil memeluk seseorang gadis yang wajahnya terlihat sebuah tanda aneh.

"Ke-kenapa kau menangis?" tanya Dilfa gugup. "Lepaskan aku, jangan samakan aku dengan Selena."

"Aku tau kau ada di sana Selena! Kau ada di dalam tubuh gadis ini, ku mohon keluarlah, kau tak akan bisa menyembunyikannya lagi! Tanda itu sama persis yang terjadi pada wajahmu sesaat setelah kau menggunakan kekuatan terkutuk itu," ungkap Arkan sambil menangis. Ia tak bisa menahan dirinya lagi, dia merasa sangat bersalah pada Selena.

"Kak, ini bukan salahmu," ucap Dilfa yang mata kanannya langsung berubah menjadi coklat. Tanda kutukan di wajahnya semakin melebar, senyuman di wajahnya sama persis yang selalu ditunjukkan oleh Selena.

"SELENA!!" pekik Arkan. Untung saja semua orang sudah pergi ke ruangan masing-masing. Jadi, tak ada yang melihat semua ini kecuali Arkan, Masuta dan Zen yang tak berdiri jauh dari sana.

"Huh, laki-laki yang merepotkan, dia adalah penghalang sebenarnya. Jiwa Selena tak akan pergi dengan mudah kali ini," celetuk Zen yang kesal.

----------------------------------------------------------

Selamat menikmati ceritanya:>

- Cindy -


Earth Necklace [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang