19. Harapan

7 1 0
                                    

Saat masih hidup terkadang manusia berharap untuk mati, sedangkan saat akan mati mereka berharap untuk tetap hidup.

***

Selena dengan terburu-buru membereskan barangnya. Ia bergegas pergi dari rumah sakit setelah pagi tiba.

"Aku harus cepat pergi dari sini," ucapnya sambil menarik koper yang hanya berisikan barang pemberian Miko.

Saat akan menyebrang jalan dia dihadang oleh sekelompok orang berjubah hitam. Dengan perasaan takut dan trauma yang begitu dalam Selena langsung berteriak histeris. Membuat semua orang yang ada di jalan menoleh kearah dirinya. Sekelompok orang tadi bergegas pergi sebelum di amuk masa.

"Kau tak apa-apa kan?" tanya satpam penjaga rumah sakit yang mendengar teriakkannya barusan. Selena hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, dia bergegas pergi sebelum ada orang asing yang mencegatnya lagi.

"Kenapa kalian tak membiarkan aku hidup dengan tenang?" batin Selena.

Setelah sampai di rumah tempat tujuannya. Dia langsung masuk ke rumah tersebut dan menutup pintunya rapat-rapat lalu mengucapkan mantra perlindungan.

"Aku sangat capek."

Selena membanting tubuhnya di tempat tidur. Membiarkan pendingin ruangan menerpa dirinya yang sangat lelah setelah berjalan kaki 1 kilometer ke rumah ini.

"Apa yang bisa aku masak di dapur?" tanya Selena pada orang yang ada di seberang teleponnya.

"Aku sudah menyiapkan kebutuhanmu sekitar satu minggu di sana, pastikan bahwa kau tak menghabiskannya sebelum waktunya!" tukas orang yang dia ajak bicara.

"Iya."

Selena langsung mematikan telepon dan bergegas ke dapur. Di sana sudah ada banyak sayuran serta kebutuhan lainnya. Bagi Selena semua ini tak akan cukup untuk seminggu, karena dia makan sangat banyak.

"Lebih baik aku merebus mie saja," celetuk Selena sendirian. Ia tak punya teman untuk diajak berbicara. Dia juga tak di perbolehkan bermain internet.

"Satu minggu di sini pasti akan sangat membosankan," ucapnya sambil memakan mie goreng yang dia masak barusan.

Setelah makan dan mencuci piring, ia kemudian mandi untuk membersihkan diri. Bekas luka akibat Dilfa masih ada di tubuhnya dan akan sangat lama untuk menghilang.

"Kenapa semua yang aku lakukan terasa membosankan?"

Saat ini Arkan dan pihak penyelenggara pencarian kalung bumi masih memburu Miko. Jika dalam waktu satu minggu mereka belum bisa menemukannya, maka dengan terpaksa Selena harus ikut ambil alih dalam pencarian ini agar Miko terpancing untuk keluar dari persembunyiannya.

"Aku pasti akan menemukannya Selena, tak akan aku biarkan dia pergi setelah menyakitimu."

Selena hanya bisa terdiam mendengar kemarahan Arkan saat menelponnya. Gadis itu tak bisa menjawab apapun selain kata "Iya" berulang kali. Setelah Arkan mematikan telepon secara sepihak, barulah dia menghembuskan nafas kasar dan membanting tubuhnya di sofa.

"Aku rasa tak ada gunanya lagi mengatakan pada Arkan bahwa aku tak ingin membalas dendam pada Miko," gumam Selena sambil menatap dinding rumahnya. Setelah 10 menit tak melakukan apa-apa selain terus memikirkan Miko, dia akhirnya tertidur dengan lelap.

Selena telah lupa untuk menutup jendela kamarnya, hingga tak menyadari bahwa ada sosok seseorang yang sedang melihat dirinya tertidur. Walau malam semakin larut dan angin semakin dingin, orang itu belum juga beranjak dari tempatnya berdiri.

"Kau sangat cantik," pujinya sambil terus tersenyum memandang Selena.

Tiba-tiba saja hujan turun, membuat Selena kedinginan karena jendela belum dia tutup dan pendingin ruangan masih menyala. Ia akhirnya terbangun dan berusaha menutup jendela kamarnya. Lalu terlihatlah sosok itu yang kini sedang menatap kedua manik mata coklatnya dengan tajam, dan seolah tak mau di lepaskan.

"Miko!"

Laki-laki itu tersenyum saat Selena meneriakkan namanya. Sudah 4 hari sejak ia melarikan diri dan rasa rindunya semakin dalam pada sosok gadis di hadapannya saat ini.

"Kau sangat cantik seperti biasanya," akunya sambil terus tersenyum.

"Kenapa kau bisa masuk pekarangan rumahku, padahal aku sudah menggunakan mantra?" tanya Selena yang sangat ketakutan.

Miko terdiam sesaat lalu beberapa menit kemudian baru menjawab, "Aku hanya tak bisa memasuki rumah ini, kalo bisa pasti aku sudah memelukmu saat ini."

Dengan sangat geram Selena menutup jendela kamarnya. Dia sangat kesal dan juga marah. Tirai jendela ia turunkan dan bergegas dia langsung menidurkan diri di kasur. Walau saat ini sedang hujan di luar dan pada kenyataannya dia masih mengkhawatirkan keadaan Miko.

"Sudahlah, jangan pikirkan lagi."

Selena mencoba memejamkan matanya tapi tak bisa, karena rasa kekhawatiran terhadap Miko terus menghantui dirinya.

"Nih, di pakai!" bentak Selena sambil memberikan jas hujan pada Miko lewat jendela.

Dengan sangat senang hati Miko mengambilnya dan kemudian memakainya. "Terima kasih."

Selena mengangguk, ia duduk di depan jendela kamarnya sambil menatap ke arah Miko yang mencoba memakai jas hujan.

"Astaga, kenapa kau sangat imut," batin Miko saat melihat Selena yang menahan kantuk karena menunggu dirinya untuk pergi setelah hujan berhenti.

"Selena apa yang sangat kau harapkan?" tanya Miko yang mencoba mencairkan suasana.

"Aku berharap untuk punya tujuan dalam hidup," jawab Selena sambil melamun.

Miko tertawa dan menanyakan kembali, "Kenapa kau berharap untuk punya tujuan dalam hidup?"

"Aku hanya ingin bahagia. Saat masih hidup terkadang manusia seperti diriku berharap untuk mati, sedangkan saat akan mati aku berharap untuk tetap hidup," celetuk Selena asal karena dia sudah sangat mengantuk.

Hujan perlahan reda. Miko bergegas pergi dan Selena kembali ke tempat tidurnya. Malam itu tanpa di sadari harapan yang Selena katakan kini membekas di ingatan Miko. Bulan yang awalnya di tutupi oleh awan kini mulai muncul dengan sangat cantik.

"Tunggulah sebentar lagi Selena."

■■●■■●■■●■■●■■●■■●■■●■■●■■●■■●■■

[28-2-21]

Earth Necklace [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang