- Mirip? -

29 7 0
                                    

"Aku jadi merasa bersalah dengan laki-laki angkuh yang bernama Arkan itu," cicit Dilfa pelan.

"Kamu punya hubungan apa sama Arkan?" tanya seorang perempuan yang berdiri di sampingnya saat pertemuan kemarin.

Dengan gugup Dilfa menjawab, "E-enggak ada hubungan apa-apa kok." Dia bergegas pergi sebelum perempuan itu mengikutinya lagi.

"Apa dia seorang penguntit?" batin Dilfa bertanya-tanya. Hingga tak sadar dia menabrak seseorang. "Maafkan aku, e-eh itu--"

"Kalo jalan pake mata!" teriak Arkan sambil memungut sebuah lembaran foto yang ia jatuhkan.

"Aku benar-benar gak sengaja," jawab Dilfa tegas.

Arkan melirik sinis mata Dilfa. Ia sepertinya sedang tak ingin melayani adu mulut tak berfaedah ini. Tanpa berkata apa pun dia langsung melangkah pergi.

"Wah, ternyata lo perempuan yang berani juga," puji seseorang yang terdengar seperti ejekan di telinga Dilfa.

Dengan malas Dilfa menoleh ke arah sumber suara, ternyata pujian itu berasal dari perempuan yang terus mengikutinya sejak kemarin.

"Kenalin nama gue, Masuta."

"Namaku Dilfa Yuhana."

"Hmmm ..., lo mirip banget sama temenku," ucap Masuta sambil melihat Dilfa dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Dia orangnya paling susah di ajak ngomong, tapi dia cukup pintar."

"Kalian ngomongin apaan sih dari kemarin? Siapa orang yang mirip denganku itu?" tanya Dilfa penasaran.

"Namanya Selena, dia meninggal dunia sekitar 2 tahun yang lalu akibat di bunuh oleh salah satu anggota geng Wairen," jawab Masuta yang seketika raut wajahnya berubah menjadi pucat.

"Ma-maaf harusnya aku gak banyak tanya."

"Gak apa, walaupun kamu mirip dia tapi sifatmu sangat beda darinya. Aku harap kamu gak mengulangi kesalahan yang sama seperti dia," ujar Masuta dengan senyuman terpaksa yang ia buat-buat.

Dilfa yang mendengar hal itu langsung merasakan nyeri di ulu hatinya. Ada sesuatu yang tak benar terjadi dengan dirinya lagi. Untuk kesekian kalinya dia berharap mati daripada merasakan sakit seperti ini.

"Hey, lo gak apa-apa kan?" tanya Masuta khawatir.

"Akhhhh ..., dadaku rasanya sangat sakit," jawab Dilfa sambil menangis.

"Sebentar, gue bakal minta bantuan."

Masuta bergegas berlari ke arah ruangan medis. Ia berniat memanggil dokter. Tapi, saat ini semua dokter sedang mengurus para peserta yang terluka sehabis dari pencarian kalung bumi.

"Gimana ini, aku harus gimana?" Seketika dia teringat akan Arkan yang seorang asisten dokter. Ia bergegas berlari mencari Arkan, yang ternyata saat ini sudah ada di samping Dilfa.

"Tenanglah, bernafaslah seperti biasa. Singkirkan trauma burukmu, biarkan aku memeriksanya," bujuk Arkan pada Dilfa yang merintih kesakitan.

"I-ini sangat sakit."

"Aku tau, oleh sebab itu biarkan aku memeriksa lukanya."

Akhirnya Dilfa bisa mengendalikan rasa sakitnya sedikit, dan membiarkan Arkan memeriksa dadanya yang mengeluarkan banyak darah.

"Lukanya sama persis seperti yang Selena punya," batin Arkan.

"Jangan membukanya ke bawah lagi! Dasar mesum!"

"Kau ini diamlah! Aku hanya ingin memeriksanya bukan mau ngapa-ngapain. Lagi pula dada yang rata be--"

Plakkk

Sebuah tamparan yang tak terlalu keras mendarat di pipi Arkan yang tampan. Dilfa langsung menyingkirkan tangan Arkan dari tubuhnya dan bergegas pergi dengan tergopoh-gopoh kearah ruang kesehatan.

"Dasar laki-laki kurang ajar," ucap Dilfa di sepanjang perjalanan menuju ruang kesehatan. Dia berusaha menahan darah yang keluar dengan tangannya.

Arkan yang tak berdiri terlalu jauh darinya hanya bisa menatap kepergian perempuan itu dengan wajah yang marah. Bisa-bisanya dia di tuduh mesum dan sekarang di tampar. Padahal ia tak memiliki niat yang aneh-aneh.

"Perempuan tidak tau terima kasih."

Setelah lukanya di obati, Dilfa langsung bergegas pergi menuju ke titik kalung bumi lainnya. Titik ini hanya menunjukkan tanda-tanda keberadaan kalung bumi dan terkadang tidak akurat. 

"Baiklah, ayo kita pergi." Dilfa memutar lencananya dan menyebutkan kordinat lokasi yang ingin ia kunjungi. Dalam hitungan detik dia langsung berada di tempat tersebut.

"Keren sekali alat ini, sekarang di mana titik keberadaan kalung itu," ucap Dilfa sambil menebas rumput yang menghalangi jalannya. "Wah, bukankah ini hutan tropis."

Selagi menganggumi keadaan sekitar, Dilfa tak menyadari bahwa ia sedang di ikuti oleh seseorang. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah peluru yang menancap di sebuah pohon.

"Sepertinya ini baru di tembakkan, apa ada orang lain selain aku di sini?"

"Ya kau benar sekali."

Seseorang dengan wajah yang hancur keluar dari persembunyiannya. Ia tersenyum sinis kepada Dilfa. "Akhirnya kelinci kecil masuk perangkap."

"Maaf paman, tapi aku manusia," jawab Dilfa polos.

"Manusia yang polos dan bodoh, hahaha!"

Dilfa tak menghiraukan perkataan orang tadi, ia sibuk mencari akar kalung bumi. Akar itu seperti sebuah kalung tapi ukurannya sangat kecil, akar inilah yang di gunakan untuk mencari titik lokasi kalung bumi yang sebenarnya.

"Aku harus bisa menyelesaikan misi ini dalam 30 hari!"

"Jangan mengabaikanku dong," ucap paman tadi. Ia merapalkan sesuatu seperti mantra. Seketika saja sebuah rantai melilit tubuh Dilfa. Dengan bingung Dilfa mencoba melepaskan rantai itu darinya.

"Lepaskan aku!"

"Oh, tidak bi--" perkataan paman wajah hancur itu langsung terhenti sesaat setelah ia merasakan sebuah kilatan besar menyambar ke tubuhnya.

"Eh, kok lepas sendiri," ucap Dilfa kebingungan. Ia langsung bergegas menghampiri paman tadi. Tapi, kini wajah paman itu bukan hanya hancur tapi sudah tak ada lagi.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

------------------------------------------------------------

Terima kasih yang sudah menyempatkan baca ceritaku🙂

- Cindy -

Earth Necklace [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang