- Pengkhianatan -

7 2 0
                                    

Setelah berbincang dengan Masuta, Dilfa kemudian kembali ke kamarnya. Ia langsung membaringkan tubuhnya di kasur dan perlahan menutup matanya.

"Dilfa!" teriak Masuta yang mencoba membangunkan Dilfa. Gadis itu tersentak bangun dari mimpinya. Ia menatap kosong kearah langit kamar.

"Ada apa?" tanya Masuta yang khawatir.

"Tidak ada apa-apa. Tunggulah sebentar aku akan mandi dan berganti pakaian, kau boleh keluar duluan," jawab Dilfa sambil menuju ke kamar mandi. Tatapannya terlihat kosong seolah tak ada semangat untuk hidup.

Setelah mandi dan memakai pakaian, Dilfa kemudian menyusul Masuta di ruang makan. Di sana sudah ada Arkan dan Ikham, mereka bertiga seperti sedang membicarakan sesuatu yang serius.

"Apa kau juga mengajak mereka direncana ini?" tanya Dilfa sambil mengunyah sarapan paginya.

"Iya, mereka pasti akan sangat berguna," jawab Masuta dengan yakin.

Arkan tampak terus memperhatikan Dilfa, ia merasa sangat bersalah tentang kejadian waktu itu saat dia memarahinya karena berani berbicara kasar pada jiwa Selena.

"Bro, lo gak apa-apa? Dari tadi lo termenung terus kayak banyak pikiran aja," celetuk Ikham asal yang membuat Arkan tambah kesal.

"Diam aja lo!"

Arkan menarik tangan Dilfa, gadis itu tersentak kaget. Menyadari kalo Arkan ingin membicarakan sesuatu pada Dilfa, akhirnya Masuta mengajak Ikham untuk pergi sebentar meninggalkan mereka berdua.

"Ngapain lo ngajak gue ke sini?" tanya Ikham pada Masuta.

"Ssst, kayaknya Arkan mau ngomong sesuatu sama Dilfa," jawab Masuta sambil menutup mulut Ikham.

"Gue mau minta maaf soal waktu itu," ucap Arkan yang membuat suasana menjadi canggung. Dilfa hanya bisa terdiam, dia termenung jauh sekali dan saat ini ia kembali mengingat mimpinya tadi malam.

"Gak apa, aku juga yang salah."

Arkan tersenyum tipis lalu tak lama kemudian ia mengajak Dilfa untuk menyusul Masuta. Semua orang yang ada di ruangan itu pura-pura tidak tau. Mereka sepertinya punya gosip baru yang bisa disebarluaskan hari ini.

"Masuta, kau yakin rencana ini bakal berhasil?"

"Percayalah Dilfa, ini pasti berhasil."

Masuta turun kebawah meninggalkan Arkan, Ikham, dan juga Dilfa yang kapan saja siap menyusulnya jika sudah di perintahkan.

"Ini pegunungan kok sepi amat, gak ada binatang yang lewat," gumam Ikham sambil memandangi sekelilingnya.

"Mungkin karena aura lo yang macam setan, jadi mereka semua kabur," ejek Arkan. Ikham mendengus kesal dan melempat batu kerikil kearah Arkan.

"Ssst, lihat Masuta sudah membuat tanda di sana."

Ikham segera turun kebawah dan melihat apa yang terjadi. Saat ini hanya ada Arkan dan Dilfa yang sedang mengawasi dari atas bukit. Suasana menjadi canggung seperti tadi pagi saat di ruang makan. Angin malam berhembus perlahan, bunyi pohon yang berayun terdengar, suasana semakin sunyi tak ada sama sekali suara hewan yang terdengar dari dalam hutan.

"Arkan awas!!" teriak seseorang dari belakang mereka berdua. Sontak Dilfa langsung mendorong Arkan ke jurang, membuat sang pemiliki suara terdiam beberapa saat lalu berteriak nyaring sambil menangis.

"ARKAN!!!" pekik jiwa Selena yang saat ini sedang digenggam oleh Velix. Laki-laki itu tertawa dengan keras melihat penderitaan Selena.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Selena pada Dilfa.

"Kalo dia tak mau denganku, maka dia tak boleh menjadi milik orang lain!" jawab Dilfa tegas.

"K-kau sudah keterlaluan, dia adalah satu-satunya orang yang menjadi alasanku untuk tetap hidup," ucap Selena sambil menangis. Air matanya mengalir sangat deras, harusnya ia bisa mencegah lebih awal saat menyadari Dilfa tadi yang mencoba menembak Arkan dari samping. Tapi tak di sangka Dilfa malah mendorong Arkan ke jurang. Hatinya sangat sakit sekali hingga energi kutukan yang selama ini dia pendam keluar dari tubuhnya.

"Kau akan menerima balasan yang setimpal."

Jiwa Selena berhasil lepas dari genggaman Velix, dia langsung mencekik tubuh Velix dan melemparinya jauh sekali. Iblis yang menunggu di dalam jiwanya kini keluar, wujud Selena berubah menjadi sangat menyeramkan, sayap hitam dan gigi bertaring layaknya Vampir. Kalung bumi pemberian Arkan menghiasi lehernya. Isak tangis dan teriakan penyesalan terdengar dari dalam dirinya.

"Dasar iblis!" ejek Dilfa sambil tersenyum merendahkan. Ia kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya berupa pil pengulang waktu. "Kau pasti tau apa ini, yap benar ini adalah pil pengulang waktu, Arkan yang memberikan padaku sebagai permintaan maaf, tapi sayangnya dia sudah meninggal."

Kemarahan menguasai Selena, gadis itu sangat tau apa yang saat ini dia inginkan. Pil itu bisa membuatnya mengulang waktu dan menyelamatkan Arkan. "Berikan itu padaku, aku tak akan memcelakaimu."

Demi Arkan ia rela meninggalkan kemarahannya. Tapi Dilfa sepertinya tak akan menyerahkan pil itu dengan mudah. Terlihat dari wajahnya yang licik.

"Baiklah, tapi dengan satu syarat, berikan kalung bumi pemberian Arkan itu padaku."

"Baiklah."

Mereka berdua bertukar barang satu sama lain, dengan cepat Selena memakan pil itu. Kemudian ia kembali ke waktu awal saat Arkan akan di dorong. Selena lalu melepaskan diri sebelum pada akhirnya dia berhasil menyelamatkan Arkan menggunakan mantranya.

"Arkan ..." ucapnya sambil memegang wajah laki-laki yang ia sebutkan namanya barusan. Tapi laki-laki itu tak bisa melihat dirinya.

"Baiklah, ayo kita pulang," ajak Dilfa. Resiko dari orang yang memakan pil waktu adalah di lupakan, karena mereka melanggar hukum alam dan takdir. Jiwa Selena hanya bisa memandangi kepergian Arkan bersama Dilfa. Bulan semakin meredup hingga cahayanya menghilang. Masuta dan Ikham bakal tak tau kenapa mereka saat ini sedang ada di hutan suku pegunungan mereka berdua bergegas pulang sebelum hujan turun.

"Maafkan aku."

Selena menangis sambil di temani oleh hujan. Tetesan air itu terus membasahi bumi hingga malam berganti dengan pagi. Pengkhianatan yang dilakukan Dilfa malam ini akan menjadi mimpi buruknya untuk selamanya.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

- 20-2-21 -

Earth Necklace [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang