Hurt [Part 16]

639 49 14
                                    

"Sudah semua?" tanya Glen, sambil menata koper-koper milik Akiko. Di sahuti dengan anggukan pelan dari Akiko, yang tengah memasangkan harnes milik Kouma.

"Ayo," ajak Glen, lalu membuka pintu mobilnya. "Tidur saja, perjalanan masih lama."

Akiko mengangguk, kemudian memejamkan mata, sambil menyender ke jendela. "Glen..."

"Hmm?"

Akiko menghela nafasnya, "Tidak jadi."

"Aneh," cetus Glen. Kemudian mereka saling terdiam. Akiko yang tertidur, dan Glen memainkan ponsel. Perjalanan berlangsung selama 45 menit, hanya ada suara klakson mobil yang terdengar. Sesekali, Glen mengamati Akiko. Mengamati wajah tirus, gadis berambut pendek itu.

Yang Glen bingungkan, kenapa Akiko tidak kabur saja, padahal kemarin adalah waktu yang tepat. Jika Akiko mau, dia bisa meminta Keinara untuk mengambil hak-nya kembali. Tapi tidak. Akiko justru mengusir Kakak-nya itu, sambil mengatakan hal yang tidak mengenakkan. Tidak heran, pasti Keinara masih marah sekarang.

Glen bahkan tidak mengira, kalau dia bisa mengambil Akiko kembali dengan semudah ini. Kalau di pikir-pikir lagi, Akiko seperti tidak punya semangat hidup sama sekali, pikir Glen. "Aiko," panggilnya.

"Ayo turun," ajak Glen, sambil membukakan sabuk pengaman milik Akiko. Sedangkan Akiko, hanya mengangguk sambil mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Ada apa?" heran Glen ketika Akiko turun dari mobil, dengan sempoyongan.

Akiko menggeleng. Namun, baru saja Akiko ingin melangkah. Glen langsung mengangkat tubuh Akiko, sambil mengambil tali milik Kouma. Akiko hanya diam, tidak bisa melawan atau mengatakan apapun. Akiko hanya merasa lemas, karena pusing di kepala-nya. Tubuh Akiko dingin, apalagi terkena udara luar.

"Mandi, dan buatkan makanan untukku," titah Glen. Lalu melenggang pergi begitu saja, ke ruang kerjanya. Meninggalkan Akiko yang masih berdiri diam, sambil menahan tubuh dengan koper.

Tanpa membuang waktu lagi, Akiko segera pergi menuju kamarnya. Lalu memutuskan untuk membereskan barang, terutama yang paling penting, yaitu obat. Akiko menaruh semua obatnya, di rak kamar mandi. Disanalah, semua obat bisa aman.

Dan lagi-lagi, Akiko terdiam ketika mengatap pantulan cermin. Menatap tubuh kurusnya, yang mungkin sebentar lagi akan hancur. Akiko menghela nafasnya singkat, lalu segera mandi. Takut Glen akan marah, karena Akiko lamban. Namun, ketika Akiko ingin memulai masak, tidak ada bahan apapun di sana. Hanya ada alkohol, seperti biasa.

"Ah iya, aku lupa belanja. Ini," ujar Glen sambil memberikan kartu hitam, pada Akiko. "Pin, 123456."

Akiko mengangguk, kemudian segera pergi. Tak lupa dengan jaket tebal, yang menutupi tubuhnya dari salju. Ini sudah siang, pantas saja Glen lapar. Di tempat Akiko, Glen tidak makan apapun. Hanya minum air saja.

"Salju, apakah aku bisa melihat, salju lagi nanti?" gumam Akiko di dalam pikirannya sendiri.

Tapi pikirannya itu segera teralihkan, saat seorang Pria, memanggil namanya. "Akiko!"

"Kak Vian..." Akiko yang bingung, hanya terdiam di tempat. Bingung kenapa bisa bertemu dengan Vian. Tapi, siapa yang tahu. Vian seorang dokter, jadi bisa saja dia sedang bertugas.

"Akhirnya kita bertemu lagi," ucap Vian sambil menarik Akiko, agar masuk ke dalam sebuah Caffe. Vian khawatir, kalau Akiko kedinginan di luar.

"Langsung ke poin saja. Akiko, apa kau ada paksaan dari Pria itu?" tanya Vian dengan serius.

"Pria?"

"Ya, pria yang berwajah menyebalkan itu," jelas Vian. Lalu memberikan syalnya, untuk menghangatkan Akiko.

Gadis Milik Tuan MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang