Feeling [Part 14]

494 41 11
                                    

Sudah 5 hari, Akiko menjalani rutinitas di tempat barunya. Berawal dari bangun pagi, bekerja, lalu istirahat. Tak jarang, Vian menelfon Akiko untuk menanyakan keadaan Akiko. Walaupun Akiko jadi banyak berbohong, terhadap Vian. Akiko mengatakan bahwa kondisinya mulai membaik, dan tidak terlalu sakit lagi. Padahal, tiap malam Akiko tidur meringkuk untuk menahan sakit. Apalagi saat mandi, banyak rambut yang rontok begitu saja.

Namun Akiko juga masih was-was, takut jika bertemu dengan Keinara. Akiko tidak mau, membawa kesedihan terhadap sang Kakak. Jadi, Akiko memilih pergi lebih cepat, dari pada meninggalkan luka. Beruntung tidak beruntung, Akiko merasa hidupnya tidak akan lama lagi. Jadi, rasa sakit Akiko akan hilang juga.

Memang tidak baik bicara seperti itu, tapi Akiko hanya merasa kondisinya semakin parah. Akiko lebih sering mimisan, dari sebelumnya. Rambut yang rontok, juga semakin banyak. Kulitnya semakin pucat, dan lebih lemah, apalagi untuk berjalan. Akiko merasa, tubuhnya mulai lebur perlahan-lahan.

"Akiko, kau mau rasa apa?" tanya Vian. Mereka tengah berada di kedai Ice cream Favorit Akiko, yang berada di dekat taman kota. Pria berkacamata itu, meminta Akiko untuk lebih sering menemuinya walau tidak mau berobat. Tak segan-segan, Vian kadang menjemput Akiko di tempat gadis itu bekerja.

"Coklat," jawab Akiko singkat. "Aku ingin ke toilet sebentar, Kak."

"Mau aku— eghm, jangan terlalu lama," ujar Vian yang salah tingkah. Bisa-bisanya, Vian ingin menemani Akiko ke toilet.

Akiko mengangguk, kemudian melenggang pergi dengan cepat. Akiko merasa, sesuatu akan dia muntahkan. Mual, dan pusing membuat Akiko tidak bisa berjalan dengan benar. Nafas Akiko tersegal-segal, ketika melihat gumpalan darah yang berada di telapak tangan–nya.

Akiko memejamkan mata, mencoba mengatur nafas agar Vian tidak khawatir. Beberapa butir obat telah Akiko telan, tanpa air sedikitpun. Hebat, bukan. Dan setelah beberapa detik, efek obat mulai terasa. Nafas Akiko mulai teratur, tapi keringat bercucuran karena gerah. Gadis berambut pendek itu memutuskan untuk segera kembali, karena takut Vian mencarinya.

Brakk!.

"Sorry..." lirih Akiko berusaha berdiri, sambil memunguti barang-barangnya yang jatuh.

"Aiko," sahut suara bariton, yang tak lagi asing di pendengaran Akiko.

"Glen..." gumam Akiko sedikit kaget. Akiko pikir, dia tidak akan bertemu Glen lagi. Tapi, pria itu ada di hadapan–nya sekarang. Bersama dengan gadis, yang bertemu dengan Akiko di kantor beberapa waktu lalu, yaitu Jevelyn.

"Maaf," ucap Akiko lagi, sambil bergegas pergi. Akiko ingat, Glen pernah mengatakan, kalau Akiko jangan pernah muncul di hadapannya lagi. Sedangkan Glen hanya menatap diam, menatap Akiko yang berlari menuju taman.

"Hei, ada apa?" tanya Vian yang kaget, melihat Akiko terengah-engah. Kemudian, Evan menyuruh Akiko untuk segera duduk. Memberikan Akiko minum, agar lebih tenang.

"Ada apa?" tanya Vian lagi. Kali ini, Vian sambil menyelipkan helaian rambut pendek Akiko.

"Ada anjing liar," jawab Akiko pelan, dan berbohong, lagi.

"Harusnya panggil aku saja, jangan berlari seperti itu," ujar Vian.

"Aku baik-baik saja, Kak. Tapi aku jadi lelah," Akiko mengatur nafasnya.

"Ayo, biar aku antarkan pulang," ujar Via  sambil membantu Akiko berdiri. Lalu pergi ke mobil hitam metalic, yang terparkir disana.

Sekitar 10 menit perjalanan, tapi Akiko dan Vian saling diam di dalam mobil. Akiko sedang bingung, kenapa bisa-bisanya Glen berada disana. Padahal, apartmen dan kantor Glen sangat jauh. Dan menurut Akiko, Glen bukanlah orang yang mau membeli sesuatu, apalagi bukan dari tempat mewah. Sedangkan di taman tadi, hanya ada kedai ice cream kecil dan beberapa street food.

Gadis Milik Tuan MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang